Kunci Tidak Kecewa : Jangan Berekspektasi


Ekspektasi, menjadi salah satu sumber kekecewaan dalam hidup. Orang yang tadinya senang berubah menjadi kecewa, karena kenyataan yang ada, atau hasil yang diinginkan, tak sesuai dengan ekspektasinya.

Pernah dalam sebuah meeting, ada bos dari Jakarta yang bertamu ke salah satu daerah di Jawa Tengah (Jateng). Bos dari Jakarta ini berekspektasi dia akan dijemlut dari airport menggunakan mobil paling rendah Inno*a.

Di luar dugaan, ia dijemput dengan mobil sejuta umat. Karena memang panitia acara hanya punya mobil tersebut. Nyatanya si bos tersinggung. Ia menganggap panitia tidak menghormatinya dengan menyediakan mobil jemputan sejuta umat.

Peristiwa dijemput mobil sejuta umat sangat merisaukan hati si bos. Bahkan, setelah acara tersebut, ia masih kecewa dengan penjemputan dirinya dengan mobil sejuta umat.

Si bos kecewa dan akhirnya mempengaruhi relasi beliau dengan pihak penyelenggara di daerah, sejatinya disebabkan oleh ekspektasi beliau soal standar penghormatan kepada beliau.

Jika dari awal bos tersebut tidak berekspektasi soal kendaraan jemputan, toh tiap hari beliau juga naik mobil bagus, masalah,atau kekecewaan tidak akan muncul.

Pelajaran moralnya adalah, jika hidupmu sudah banyak masalah, jangan tambah masalah lagi dengan memunculkan ekspektasi yang pada akhirnya membuat dirimu kecewa.

Janji


“Sudah rapi, yah,” kataku mengelus patok kayu bertuliskan nama ayahku. Sore itu aku membersihkan rumput liar di atas makam ayah.

Aku kemudian membetulkan posisi duduk jongkokku. Untaian doa tak henti aku panjatkan untuk sosok yang aku teladani, hormati. Ayah.

“Anakmu sudah lulus SMA, yah. Udah gede kan? Maafkan aku yang setelah ayah berpulang, tak bisa membela ibu, yah.” kataku berusaha menahan airmata.

Lintasan kejadian pahit saat aku kecil langsung terlihat seperti slide. Aku hanyalah anak perempuan kecil yang tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa ketika ibunya diserang keluarga karena masalah harta.

Aku kecil hanya mampu berdiri di depan ibu, melindungi ibu dari serangan keluarga almarhum ayah. Kata-kata tajam menyudutkan, tudingan-tudingan kejam berhamburan, menusuk jiwa anak manusia. Aku memeluk ibu, memberi kekuatan.

Dalam batinku aku ingin teriak. Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai anak lelaki. Biar aku bisa melindungi ibuku seperti ayah dulu.

Usai keluarga almarhum ayah pergi, aku dan ibu menangis sesenggukan di teras belakang.

Aku menyeka air bening di sudut mata. “Ayah, anakmu berjanji akan kuliah. Biar bisa membahagiakan ibu nanti. Biar ibu bangga. Aku ingin melihat ibu bahagia. Ayah tenang di sana ya. Doaku tak pernah putus untuk ayah. Kelak, jika aku kerja, aku akan niatkan sedekah, infaq untuk ayah. Akan aku umroh, hajikan ayah. Yang tak sempat ayah tunaikan karena keburu berpulang. Jika aku nanti sukses, aku tak akan dendam dan membalas keluarga yang telah menyakiti ibu. Aku akan tetap berbuat baik. Seperti yang ayah teladankan.”

Aku beringsut dari duduk. Mataku menatap kubur ayah. Kuelus lagi patok kayu kuburan ayah. “Lapangkan kubur ayah, terangi kubur ayah, ampuni dosa-dosanya, ya Rabb.” (bersambung)

Kunci Bahagia Cuma Ini Ternyata


Setiap manusia, pasti ingin bahagia. Tapi, tidak semua manusia merasakannya. Sebagian mengira, bahagia akan mendekat, jika dirinya berlimpah harta. Sebagian lagi mengira bahagia akan menetap jika hidupnya lengkap : bekerja, punya pasangan hidup, punya anak, punya rumah, punya kendaraan. Sebagian lagi mengira, ia bahagia jika punya kekuasaan yang mendatangkan segan dan penghormatan.

Ada juga yang berpikir dirinya bahagia jika sudah terkenal, populer, teman-teman ya dari kalangan seleb atau high class.

Ternyata, ketika manusia mencapai kategori kaya sesuai standarnya, di luar dugaan. Dirinya tetap tidak bahagia. Ia kemudian mencari-cari lagi hak di luar dirinya yang ia kira nantinya akan bikin ia bahagia.

Padahal…bahagia itu kuncinya ada pada diri manusia itu sendiri. Bukan faktor-faktor eksternal kepantasan sesuai kesepakatan komunal.

Menurut KH Husein Ilyas dari Mojokerto, resep bahagia ada tiga. 1) Al Sofa yakni membersihkan hati. Karena orang lain tidak bisa membersihkan hati kita.
2) Al wafa yakni tidak mengingkari ucapan sendiri. 3) Al Jafa yakni dicaci dan dipuji sama saja.

Intinya, bahagia itu dari hati, jiwa kita. Bukan dari pemenuhan faktor eksternal yang lekat dengan materi, nafsu, dan pengakuan.

Vibes Angkot tuh…


Ada senyum yang bikin hati meleleh. Literally seasyik itu senyum tulus dengan stranger…

Dua perempuan bertubuh kurus dengan jilbab bergo dan gamis lusuh masuk ke dalam angkot yang kutumpangi saat pulang kantor. Keduanya sudah memasuki usia senja. “Mungkin dari rumah saudaranya,” batinku. Aku berasumsi seperti itu, karena keduanya bawa tas kantong belanja berisi barang, dari gang area pemukiman.

Aku tersenyum kepada salah satu Ibu yang duduk berseberangan denganku. Si ibu ternyata membalas senyumku. Aku pun menganggukkan kepalaku.

“Pulang kerja, neng?” tanya si ibu ramah. “Iya, bu,” jawabku. “Bawaannya banyak banget, neng. Sendirian ya. Kalau dekat, ibu bantuin,” ujar ibu.

Ya Allah langsung nyesek. Beliau yang sudah renta punya niat bantuin orang lain. Langsung kubalas “Makasih bu hehe. Ibu dari mana hehe,” balasku.

“Tadi dari acara pembagian sedekah, neng. Kalau hari Jumat, ibu libur ga kerja. Biasanya kerja nyuci piring di warteg,” ujar si ibu.

“Oh gitu,” ujarku. “Iya neng. Kadang dikasih barang, kadang dikasih uang,” kata si ibu sambil membuka tas kain belanjaan berisi barang sedekah.

Aku manggut-manggut. Tanpa sengaja aku melihat sendal jepit lusuh yang dikenakan kedua ibu ini. Ada rasa ga nyaman di hatiku. Saat sadar, aku bawa dua tas belanjaan dari shopping mall.

Sempat kepikir mau ngasih barang belanjaan, tapi aku sendiri juga butuh. Akhirnya kuputusin kasih uang keduanya. Sekalian nggratisin ongkos transport.

Sebelum kedua ibu ini masuk, aku sudah niat nggratisin ongkos angkot kakek yang berjalan dengan tongkat dan duduk di depan, samping sopir. Melihat semangat dan keceriaannya, aku seperti mendapat energi baru.

Melihat semangat hidup mereka, aku melihat hamba yang mensyukuri nikmat hidup yang didambakan yang sudah meninggal. Aku melihat ridho dan qudrah Allah dari wajah-wajah renta yang tersenyum melanjutkan hidup di tengah keterbatasan.

Ya, sore itu aku hanya berlima di angkot. Bareng kedua nenek dan seorang kakek yang tetap semangat melanjutkan hidupnya. Alhamdulillah…

Kadang small talk, ngobrol dengan stranger, orang yang ga kita kenal itu, literally bisa bikin positive vibes. Sore yang mendung, menjadi cerah dengan semangat mereka, orang-orang yang tak lagi muda usia. Ada yang relate sama kisahku hari ini?

Dan rasa itu, ga kudapatkan tahun lalu, saat pulang pergi kerja harus pakai antar jemput driver karena pandemi. Aku merasa hidup di antara mereka. Orang-orang kurang beruntung yang semangat melanjutkan hidup. Semangat mereka memercik menjadi energi baru untukku. Berharap, diriku juga menjadi energi positif bagi orang di sekitarku.

Dunia Kadang Begitu…


Menggunakan standar ukuran dunia dalam menyikapi kemalangan,hanya menambah beban.Coba ganti dengan kesurabayaan. Eh bercanda haha.

Coba amati sekitarmu. Ada tidak orang yang sering jahat kepada orang lain, tetapi hidupnya selalu beruntung? Sementara ada orang yang baik banget, tapi hidupnya lebih banyak sengsaranya.

Kalau pakai terminologi agama, khususnya Islam, biasa disebut istidraj kias azab kesenangan.

Jika kita menggunakan terminologi duniawi, ya jelas yang enak yang jahat dan hidupnya selalu beruntung. Tapi kita melupakan karakter dunia yang tidak abadi. Dia selalu senang hidupnya untuk berapa lama sih? Memang dia hidup selamanya?

Begitu kita memasukkan konteks dunia yang sementara, maka ketidakadilan yang awalnya terlihat sangat gamblang, mulai memudar. Benarkah orang baik yang hidupnya sengsara itu menjadi orang yang merugi? Sepintas terlihat merugi. Karena hidupnya tidak seindah orang yang jahat tapi hidupnya lengkap dan terlihat bahagia.

Tapi, ketika kita menggunakan meteran kehidupan abadi, alias akhirat, maka jawabannya akan berbeda. Karena yang langgeng adalah amal kebaikan sebagai bekal. Bukan seberapa lengkap hidupmu seperti orang banyak, seberapa banyak rumahmu, seberapa sukses karirmu, usahamu, seberapa banyak investasimu.

Jelas sekali yang beruntung adalah orang baik yang jalan hidupnya lebih banyak sengsara. Karena kebaikannya menjadi cahaya dunia, menjadikan kehidupan lebih tenteram, aman bagi orang lain, dan menjadi bekal di hari kemudian. Jika secara materi pasti orang baik yang hidupnya sengsara ini tidak beruntung. Lebih beruntung orang jahat yang sukses hidupnya.

Tapi balik lagi, Allah SWT tidak peduli dengan pencapaian duniami. Tugasmu sebagai manusia hanya satu, mencari ridho Nya. Dan itu sukses tertinggi. Jika orang baik yang hidupnya sengsara itu ridho atas garis hidupnya, maka dia adalah orang sukses.

Mengukur segala sesuatu dengan ukuran dunia yang sementara, hanya membuat manusia menghalalkan segala cara, tertipu, bahkan hilang wajah manusianya berganti menjadi karakter setan dan binatang. Memangnya mau downgrade dari manusia yang punya kelebihan rasio logika, menjadi makhluk yang dikendalikan nafsu?

Dimensi dunia kerap menipu. Kecuali dimanfaatkan untuk kebaikan dan mencari ridho Tuhan.

#tulisansusansutardjo #susansutardjo

Terima Saja Jika…


Hari ini serupa sebelumnya, mendung. Berkabut seperti wajahku dulu saat keluar dari sidang tugas akhir kuliah. Untuk proses, percayalah aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.

Si pesakitan yang awalnya sok-sokan, akhirnya keok…

Dengan model salah satu penguji yang terkenal killer, suka menjatuhkan, di republik wakanda dan kerajaan bikini bottom. Untungnya aku masih waras. Ga mau pakai naburin garam di sekitar ruangan sidang…hehhh

Cerita soal dosenku yang killer ini, aku sudah merasakan jawaban mautnya yang bikin mental kita langsung jatuh ke jurang. Jika pertanyaan kita ga sesuai dengan frame berpikirnya, atau menurutnya aneh, maka jawabannya akan bikin kita sakit hati dan malu seubun-ubun. Ga tahu tuh ubun-ubun kok bisa punya malu. Sejak kapan?

Bahkan saking menakutkannya tuh dosen, teman kuliah yang satu kelompok sama aku,sampai menangis. Gara-gara dosen itu nyecer pertanyaan kritis plus sadis ke temanku. Masih kuingat airmatanya dulu…

Kebayang kan, dosen sekiller itu menjadi pengujiku. Andaikan aku bisa nawar sama pihak kampus, ingin banget beliau diganti. Tapi kan gak ada sesi tawar menawar hiks. Ya sudahlah, aku terima. Mungkin ini sudah takdirku.

Hari pembantaian pun tiba. Segala doa sudah kupanjatkan, agar aku tidak gemeteran menghadapi dia. Awalnya berjalan seperti rencana. Tapi, begitu masuk ke sesi pembantaian, alias pengujian, ada hal “aneh” yang menurutku ga bakal ada titik temu.

Jadi, aku sama dosen itu beda mazhab beb soal metodologi penelitian. Karena mazhabnya beda, otomatis fokusnya juga akan beda.

Materi yang kupelajari, dan data yang bulanan sudah serupa kencan, seperti tidak ada gunanya. Karena jawaban Dan dataku tidak akan pernah benar dengan penguji yang paham metodologinya berbeda.

Aku dicecer habis-habisan. Sejatinya aku mau bilang ke orang-orang yang ada dalam ruangan itu.Pemahaman metodologi penguji kontra dengan metodologi tugas akhirku. Sebagian jawabanku tidak akan pas untuk pertanyaan beliau

Tapi di sana kan aku seorang mirip terdakwa atau pesakitan. Aku ga punya hak suara. Akhirnya aku hanya bisa diam, berusaha terima disalahkan yang sejatinya karena beda pemahaman.

Keluar sidang, nuraniku berontak. Dalam hati aku tidak terima diperlakukan seperti itu.Dosen tidak selalu benar.Mahasiswa juga tidak selalu salah.Tapi, di ruang sidang, aku lebih mirip pesakitan tanpa bisa mengutarakan hal dasar yang membuat pengujian serupa pembantaian

Di sudut kampus, aku lemas terduduk. Melihat nanar ke depan. Air bening tanpa kuminta mengalir dari sudut mataku. Perjuanganku belajar hingga pagi seperti sia-sia.

Satu-satunya hal yang membuatku masih agak lega adalah ucapan dosen itu kalau karyaku bagus, di depan penguji lain. Hal yang sangat jarang dia sampaikan. Tapi dalam hati, kalau bagus, kenapa dataku disalahkan?

Saat air mataku terus menerobos dari sudut mata, suara hatiku yang terdengar dari jauh berkata “Terima saja, jika proses sidang ini tak seperti yang kamu kira.”

Respons, perlakuan dosen penguji selama sidang merupakan hal yang tidak bisa kukontrol atau indifferent yang tak kuinginkan. Jika aku tak terima, aku mau protes sama siapa?

#tulisansusansutardjo #susansutardjo