Dunia Kadang Begitu…


Menggunakan standar ukuran dunia dalam menyikapi kemalangan,hanya menambah beban.Coba ganti dengan kesurabayaan. Eh bercanda haha.

Coba amati sekitarmu. Ada tidak orang yang sering jahat kepada orang lain, tetapi hidupnya selalu beruntung? Sementara ada orang yang baik banget, tapi hidupnya lebih banyak sengsaranya.

Kalau pakai terminologi agama, khususnya Islam, biasa disebut istidraj kias azab kesenangan.

Jika kita menggunakan terminologi duniawi, ya jelas yang enak yang jahat dan hidupnya selalu beruntung. Tapi kita melupakan karakter dunia yang tidak abadi. Dia selalu senang hidupnya untuk berapa lama sih? Memang dia hidup selamanya?

Begitu kita memasukkan konteks dunia yang sementara, maka ketidakadilan yang awalnya terlihat sangat gamblang, mulai memudar. Benarkah orang baik yang hidupnya sengsara itu menjadi orang yang merugi? Sepintas terlihat merugi. Karena hidupnya tidak seindah orang yang jahat tapi hidupnya lengkap dan terlihat bahagia.

Tapi, ketika kita menggunakan meteran kehidupan abadi, alias akhirat, maka jawabannya akan berbeda. Karena yang langgeng adalah amal kebaikan sebagai bekal. Bukan seberapa lengkap hidupmu seperti orang banyak, seberapa banyak rumahmu, seberapa sukses karirmu, usahamu, seberapa banyak investasimu.

Jelas sekali yang beruntung adalah orang baik yang jalan hidupnya lebih banyak sengsara. Karena kebaikannya menjadi cahaya dunia, menjadikan kehidupan lebih tenteram, aman bagi orang lain, dan menjadi bekal di hari kemudian. Jika secara materi pasti orang baik yang hidupnya sengsara ini tidak beruntung. Lebih beruntung orang jahat yang sukses hidupnya.

Tapi balik lagi, Allah SWT tidak peduli dengan pencapaian duniami. Tugasmu sebagai manusia hanya satu, mencari ridho Nya. Dan itu sukses tertinggi. Jika orang baik yang hidupnya sengsara itu ridho atas garis hidupnya, maka dia adalah orang sukses.

Mengukur segala sesuatu dengan ukuran dunia yang sementara, hanya membuat manusia menghalalkan segala cara, tertipu, bahkan hilang wajah manusianya berganti menjadi karakter setan dan binatang. Memangnya mau downgrade dari manusia yang punya kelebihan rasio logika, menjadi makhluk yang dikendalikan nafsu?

Dimensi dunia kerap menipu. Kecuali dimanfaatkan untuk kebaikan dan mencari ridho Tuhan.

#tulisansusansutardjo #susansutardjo

Terima Saja Jika…


Hari ini serupa sebelumnya, mendung. Berkabut seperti wajahku dulu saat keluar dari sidang tugas akhir kuliah. Untuk proses, percayalah aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.

Si pesakitan yang awalnya sok-sokan, akhirnya keok…

Dengan model salah satu penguji yang terkenal killer, suka menjatuhkan, di republik wakanda dan kerajaan bikini bottom. Untungnya aku masih waras. Ga mau pakai naburin garam di sekitar ruangan sidang…hehhh

Cerita soal dosenku yang killer ini, aku sudah merasakan jawaban mautnya yang bikin mental kita langsung jatuh ke jurang. Jika pertanyaan kita ga sesuai dengan frame berpikirnya, atau menurutnya aneh, maka jawabannya akan bikin kita sakit hati dan malu seubun-ubun. Ga tahu tuh ubun-ubun kok bisa punya malu. Sejak kapan?

Bahkan saking menakutkannya tuh dosen, teman kuliah yang satu kelompok sama aku,sampai menangis. Gara-gara dosen itu nyecer pertanyaan kritis plus sadis ke temanku. Masih kuingat airmatanya dulu…

Kebayang kan, dosen sekiller itu menjadi pengujiku. Andaikan aku bisa nawar sama pihak kampus, ingin banget beliau diganti. Tapi kan gak ada sesi tawar menawar hiks. Ya sudahlah, aku terima. Mungkin ini sudah takdirku.

Hari pembantaian pun tiba. Segala doa sudah kupanjatkan, agar aku tidak gemeteran menghadapi dia. Awalnya berjalan seperti rencana. Tapi, begitu masuk ke sesi pembantaian, alias pengujian, ada hal “aneh” yang menurutku ga bakal ada titik temu.

Jadi, aku sama dosen itu beda mazhab beb soal metodologi penelitian. Karena mazhabnya beda, otomatis fokusnya juga akan beda.

Materi yang kupelajari, dan data yang bulanan sudah serupa kencan, seperti tidak ada gunanya. Karena jawaban Dan dataku tidak akan pernah benar dengan penguji yang paham metodologinya berbeda.

Aku dicecer habis-habisan. Sejatinya aku mau bilang ke orang-orang yang ada dalam ruangan itu.Pemahaman metodologi penguji kontra dengan metodologi tugas akhirku. Sebagian jawabanku tidak akan pas untuk pertanyaan beliau

Tapi di sana kan aku seorang mirip terdakwa atau pesakitan. Aku ga punya hak suara. Akhirnya aku hanya bisa diam, berusaha terima disalahkan yang sejatinya karena beda pemahaman.

Keluar sidang, nuraniku berontak. Dalam hati aku tidak terima diperlakukan seperti itu.Dosen tidak selalu benar.Mahasiswa juga tidak selalu salah.Tapi, di ruang sidang, aku lebih mirip pesakitan tanpa bisa mengutarakan hal dasar yang membuat pengujian serupa pembantaian

Di sudut kampus, aku lemas terduduk. Melihat nanar ke depan. Air bening tanpa kuminta mengalir dari sudut mataku. Perjuanganku belajar hingga pagi seperti sia-sia.

Satu-satunya hal yang membuatku masih agak lega adalah ucapan dosen itu kalau karyaku bagus, di depan penguji lain. Hal yang sangat jarang dia sampaikan. Tapi dalam hati, kalau bagus, kenapa dataku disalahkan?

Saat air mataku terus menerobos dari sudut mata, suara hatiku yang terdengar dari jauh berkata “Terima saja, jika proses sidang ini tak seperti yang kamu kira.”

Respons, perlakuan dosen penguji selama sidang merupakan hal yang tidak bisa kukontrol atau indifferent yang tak kuinginkan. Jika aku tak terima, aku mau protes sama siapa?

#tulisansusansutardjo #susansutardjo

Dalam Diam


Aku memilih bersikap biasa

Sedemikian datar di tengah kesal

Bukan berarti tak tahu apa-apa

Tapi aku percaya ada Rabb Sang Maha

Keburukan tidak pernah kekal

Sepintas kenyang bertumpuk uang

Mengambil recehan hingga jutaan

Untuk kesenangan dan bergaya sultan

Kemudian menginjak teman

Memprovokasi, menjatuhkan sangsi

Merasa diri paling suci, setelah tangan

Berlumur kotoran penuh jarahan

Jakarta, Oktober 2021

WebQuest:


Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, motivasi belajar, dan pada akhirnya prestasi akademik siswa. WebQuest adalah salah satu produk dari TIK yang bisa diperoleh dengan mengakses internet.

WebQuest adalah format pelajaran yang berorientasi pada metode inkuiri yang di dalamnya memuat banyak informasi tentang materi pelajaran dan penugasan berasal dari web yang me-link ke WebQuest.

WebQuest dikembangkan oleh Bernie Dodge di Universitas Negeri San Diego pada Februari 1995 dengan input awal dari SDSU/Pacific Bell Fellow Tom March, staf di Teknologi Pendidikan di San Diego Unified School District dengan partisipan peserta Teach the Teachers Consortium.

Sejak itu puluhan hingga ribuan guru menggunakan WebQuest sebagai salah satu jalan menarik siswa dalam proses belajar di abad 21.  Model ini kemudian menyebar di seluruh dunia. Bahkan beberapa negara dengan antusias menggunakan WebQuest seperti Brazil, Spanyol, Cina, Australia, dan Belanda.

Membuat WebQuest

            Secara teknologi membuat WebQuest sangat mudah. Sepanjang kita dapat membuat dokumen dengan hyperlinks, maka kita dapat membuat WebQuest. Ini artinya bahwa WebQuest dapat dibuat dengan menggunakan Word, Powerpoint, bahkan Excel.

Sebuah WebQuest adalah:

  • Meliputi tugas yang dapat dilakukan siswa dengan tampilan menarik
  • Memerlukan proses berpikir lebih dalam, bukan hanya sekedar merangkum materi pelajaran. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan menggabungkan, menganalisa, memecahkan masalah, menciptakan kreativitas, penilaian, dan evaluasi.
  • Menggunakan sumber informasi dari web dan referensi buku lain untuk memperkaya materi pelajaran. Jika materi di WebQuest hanya berasal dari buku pelajaran tanpa diintegrasikan dengan informasi yang ada di situs yang memiliki keterkaitan dengan mata pelajaran, maka WebQuest tak ubahnya seperti pelajaran konvensional.
  • Membuat WebQuest bukan berarti membuat laporan penelitian atau membuat langkah demi langkah seperti prosedur matematika. Sehingga, WebQuest tidak berhenti sampai pada tahap siswa mampu membuat contoh WebQuest diikuti dengan presentasi. Tetapi siswa mampu memberikan contoh-contoh dari tema pelajaran yang disajikan dalam WebQuest sekaligus menjelaskan maksud tulisan yang ada dalam WebQuest.

Situs Penyedia WebQuest

·         QuestGarden

QuestGarden diciptakan oleh Bernie Dodge. Membuat WebQuest dengan menggunakan Quest Garden lumayan mudah. QuestGarden menyediakan step by step cara membuat WebQuest dan contohnya dengan disupport dokumen dalam bentuk Word, PowerPoint, dll.

·         Zunal.com

Situs Zunal.com juga menyediakan WebQuest secara gratis. Caranya, buka situs http://zunal.com. Setelah membuka halaman zunal.com, kemudian melakukan registrasi di kolom Register Free. Urusan registrasi beres, klik login dengan memasukkan e-mail dengan password. Langkah selanjutnya membuat WebQuest dengan mengikuti langkah-langkah demi langkah yang ada di zunal.com.

 

·         Teacherweb.com/tweb/TWQuest.aspx

Website teacherweb.com menyediakan WebQuest bagi siapa saja yang telah mendaftar. Menariknya, selain WebQuest, situs teacherweb juga menyediakan space untuk membuat situs milik para pengajar.

Untuk membuat WebQuest, langkah pertama adalah klik https://www.teacherweb.com/tweb/twquest.aspx. Kemudian klik sign up and get started. Langkah selanjutnya klik Create WebQuest yang ada di home yang akan diikuti dengan tampilan di bawah ini.

 

Create Your TeacherWebQuest:

Grade Level: Elementary SchoolMiddle SchoolHigh School

Subject Area: ArtAstronomyBiologyCareersCharacterChemistryComputersCurrentCurrent EventsDrama/TheaterEconomicsEducation TechnologyEnglishFrenchGeographyGermanHealthHistoryLanguageLanguage ArtsLawLiteratureMathMedicineMusicPhysicsPoliticsPsychologyReligionSafetyScienceSocialSocial StudiesSpanishSportsStudy SkillsWeatherZoology

Topic of the WebQuest: (e.g. “Olympics”, “Biomes”, “CivilWar”)

Title of the WebQuest: (e.g. “Civil War WebQuest”)

 I have an Account Code

 I have the email address and password of my paid TeacherWeb account

 

Account Code:

I agree to the Terms and Conditions of a WebQuest on TeacherWeb®

I acknowledge that TeacherWeb® may remove my WebQuest at any time,
with or without cause, in its sole and absolute discretion.

                                                      

Isi kolom yang tersedia. Semua harus diisi. Setelah semua diisi, klik Next. Langkah selanjutnya adalah membuat WebQuest sesuai instruksi di web.

 

Template WebQuest

Agar tampilan WebQuest menarik, pilihlah template yang kira-kira sesuai dengan umur siswa. Di bawah ini contoh template di Quest Garden.

 

 

 

 

 

 

Secara umum langkah pembuatan WebQuest seperti di bawah ini:

Pilih Topik  Mata Pelajaran yang sesuai dengan model Inkuiri

Membuat Design

 

 

 

 

 

Jelaskan Bagaimana Siswa akan Dievaluasi

 

 

 

 

Proses Desain

 

 

 

 

Mempercantik Tampilan WebQuest

 

 

 

 

 

Ternyata membuat WebQuest mudah. Selamat mencoba ya. Semoga berhasil.

Membuat RPP/Lesson Plan Menggunakan Planbook


Source: http://planbookedu.com/print/format/date:2012-01-15/pk:C9KRA

Week of January 15, 2012

Monday

Tuesday

Wednesday

Thursday

Friday

Lesson Plan

Lesson: Science
Class / Semester: II / 2
Meeting: Second
Time: 2×30 minutes (at 08 am-09 am)

Competency Standards:
3. Know the various sources of energy that is often encountered in everyday life and its usefulness.

Basic Competence:
3.1 Identify sources of energy (heat, electricity, light, and noise) that exist in the environment,

Indicator
1.Pupils can explain the source of energy in the vicinity
2.Pupils can explain the examples of goods that require electrical energy in the workings
3.Pupils can explain the changes brought about by electrical energy

I. Learning Objectives:
Know the various sources of energy that is often encountered in everyday life and its usefulness.

II. Teaching Materials: Energy and its Amendment
III.Learning Methods: Problem-based learning,
IV.Learning Steps
Initial activities:
Story-telling told Justien Biber got an alarm clock gift from her parents, but the clock was not lit.

-The teacher asked the students why the clock can not work
core Activities
-Students tried a few tools that need the battery and the electricity to work.
-Teacher explains the energy change that occurs.
Assessment:
-Giving questions about electricity works
-Students are asked to give examples of items that require electricity to work
-Students are required to explain the energy changes that occur in electronic goods
-Working on a worksheet
End of activities:
-Asking again about electricity works
V. Equipment / materials / learning resource: Worksheet, drawing tools, household appliances, gadgets, alarm clock, battery
VI.Reflection
-Give questions to students about the tools that require electricity to work
-Give the question of tools that do not require electricity in the works

Jakarta,  January 16, 2012

Susan Sutardjo

Teacher

Lesson Plan

Subject: Indonesian
Class / Semester: II / 2
Meeting to: Second
Time Allocation: 1×30 minutes (09.30 am-10.30 am)

Competency Standards:
Understanding the range of written discourse by reading aloud and reading silently.

Basic Competence:
1.1 Reading aloud and reading in 16 to 20 sentences with attention to proper pronunciation and intonation.
1.2 Copying the passages with the concatenated with the letter neatly upright.

Indicator
1.1 Students can read aloud with attention to punctuation and sentence intonation.
1.2 Students’ reading comprehension through a series of questions.
1.3 Students are able to write the letter continued upright.

I. Learning Objectives:
Understanding the range of written discourse by reading aloud and reading silently.

II. Teaching Materials: Text readings

III.Metode Learning: Exposure to direct.

IV.Learning Steps
Initial activities:
Reading the text readings per group.
core Activities
Answering questions per group
Copying a paragraph reading with upright letters concatenated
Giving the name of the beast according traits that exist in textbooks.
End of activities:
Give the question in accordance with the text reading orally.

V. Equipment / materials / learning resources: worksheets, lesson books, netbooks.

VI.Reflection: copy one sentence reading with upright letters individually serialized.

Jakarta,  January 17,  2012

Susan Sutardjo

Teacher

Lesson Plan

Subject: Social Sciences (IPS)
Class / Semester: II / 2
Meeting to: Two
Time Allocation: 2×30 minutes (11 am-12 am)

Competency Standards:
1.Understanding cooperation in the neighborhood.

Basic Competence:
11 Explain the benefits of cooperation in the neighborhood.

Indicator
1.1 Students can explain the definition of neighbor.
1.2 Students can identify the neighbor in front, right side and left side of their house.
1.3 Students can explain the meaning of cooperation
1.4 Students can give examples of other forms of cooperation among neighbors
1.5 Students can explain the benefits of cooperation among neighbors.

I. Learning Objectives:
Understanding cooperation in the neighborhood.

II. Teaching Materials: Environmental

III.Learning Methods: Exposure to direct the drama.

IV.Learning Steps:
Initial activities:
Giving questions surrounding neighbors and co-operation.
Core Activities
drama siskamling
End of activities:
-Fill out the worksheet.
V. Equipment / materials / learning resources: worksheets about, and drama texts siskamling
VI.Reflection: Giving oral questions about the benefits of cooperation

Jakarta,  January 18,  2012

Susan Sutardjo

Teacher

Paradigma Pasca…


Paradigma Pasca Positivisme

dalam Penelitian Psikologi Pendidikan

I.Background

Situs jejaring sosial muncul pada 1997 dengan ditandai lahirnya Sixdegrees.com.  Situs ini memiliki aplikasi profil,  menambah teman, dan mengirim pesan (Boyd&Ellison: 2007). Kemunculan Sixdegrees.com kemudian diikuti dengan social media network lain seperti friendster, my space, facebook, twitter, dll.

Jumlah pengguna jejaring sosial terus bertambah seiring pertumbuhan pemakai internet dan terobosan aplikasi jejaring sosial dan internet yang diintegrasikan dalam telepon genggam. Berdasarkan riset Yahoo bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009  menyebutkan bahwa mayoritas pengguna internet berasal dari kalangan remaja usia sekolah rentang umur 15 tahun hingga 19 tahun dengan prosentase mencapai 64 persen. Sebanyak 53 persen berasal dari kalangan remaja yang notabene merupakan usia sekolah.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan, pengguna internet di Indonesia pada 2009 diperkirakan mencapai 25 juta dengan pertumbuhan setiap tahun rata-rata 25 persen. Berdasarkan survey MarkPlus Insight yang dirilis Majalah Marketeers jumlah pengguna internet per Oktober 2011 mencapai 55 juta orang atau naik dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 42 juta. Menariknya sekitar 50 persen hingga 80 persen pengguna internet berasal dari kalangan muda dengan dominasi umur 15 hingga 30 tahun. Rata-rata mereka mengakses internet sekitar 3 jam sehari.

Menurut riset Nielsen jumlah pengguna Facebook di Indonesia pada 2009 meningkat 700 persen ketimbang tahun 2008, pengguna Twitter melonjak hingga 3.700 persen. Sebagian besar pengguna kedua jejaring sosial berusia 15-39 tahun. Dengan demikian, jumlah pengguna kedua facebook dan twitter berasal dari kalangan remaja usia sekolah. Per November 2011 jumlah pengguna facebook dan twitter mencapai 47 juta orang.

Penggunaan jejaring sosial tanpa pengendalian diri pada siswa dikhawatirkan mempengaruhi motivasi belajar dan prestasi belajar.  Penelitian ini melibatkan siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan mahasiswa.

II.Novelty

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa  penggunaan situs jejaring sosial menyebabkan prestasi akademik menurun. Penggunaan situs jejaring sosial disinyalir menjadi penyebab menurunnya motivasi belajar karena siswa lebih semangat bermain situs jejaring sosial ketimbang belajar, berkurangnya waktu belajar, dan mengganggu konsentrasi belajar. Padahal penggunaan teknologi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas siswa dalam membangun modal sosial yang kuat (Oskouei, 2010).

Psikolog asal Belanda Paul A Kirschnera and Aryn C. Karpinski (2009) dari Pusat Studi Sains dan Teknologi Open University Belanda dan Ohio State University menyebutkan bahwa tidak ada korelasi langsung antara jejaring sosial seperti facebook yang menyebabkan nilai para mahasiswa atau pelajar menjadi jeblok. Namun diduga jejaring sosial telah menyebabkan waktu belajar para siswa atau mahasiswa tersita oleh keasyikan berselancar di situs jejaring sosial. Para pengguna jejaring sosial mengakui waktu belajar mereka memang telah tersita. Rata-rata para siswa pengguna jejaring sosial kehilangan waktu antara 1 – 5 jam sampai 11 – 15 jam waktu belajarnya per minggu untuk bermain jejaring sosial di internet.

Sehingga kebiasaan belajar  termasuk di dalamnya lama belajar juga berperan penting dalam kesuksesan hasil belajar. Penggunaan jejaring sosial yang berjam-jam secara tidak langsung akan mengurangi jatah belajar. Demikian juga motivasi belajar yang turun karena siswa lebih semangat bermain jejaring sosial ketimbang belajar.

III.Thesis Statement

Penggunaan jejaring sosial diduga mempengaruhi motivasi dan prestasi akademik siswa. Semakin lama menggunakan jejaring sosial, jam belajar berkurang, motivasi menurun, prestasi akademik juga menurun.

IV.Kritik Terhadap  Pengaruh Jejaring Sosial.

A.Falsifikasi

Falsifikasi adalah proses pembuktian untuk menentukan suatu teori salah atau tidak. Hal ini berbeda dengan verifikasi yang digunakan untuk membuktikan suatu teori benar atau tidak. Falsifikasi dikenalkan oleh Karl Raimund Popper (1902-1994). Dengan pemikiran rasionalisme kritis Popper mengritik prinsip positivisme logis walaupun ia tetap mendukung kesatuan metode ilmiah dengan menggeser induksi (verifikasi) dengan deduksi (falsifikasi) (Popper, 1976:  34).

Dengan falsifikasi Popper menolak metode induksi dalam verifikasi teori Lingkaran Wina. Ia berpendapat bahwa ilmu berkembang lewat konjektur yang imajinatif dan berani, namun tetap dikontrol oleh  tes sistematis. Epistemologi yang paling menarik menurut Popper adalah problem pertumbuhan pengetahuan ilmiah.

Tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah yaitu problem satu—teori tentaif—error ellimination—problem dua—teori baru.

Problem satu artinya ilmu pengetahuan bermula dari satu masalah berupa penyimpangan yang menyebabkan orang mulai mempertanyakan keabsahan sebuah prediksi.  Dikaitkan dengan tema tesis, maka keberadaan jejaring sosial dikhawatirkan mempunyai pengaruh negatif terhadap kebiasaan belajar, motivasi dan prestasi akademik.

Tahap kedua yaitu teori tentatif.  Pada fase ini muncul teori tentatif bersifat terkaan atau percobaan.  Teori tentatif terhadap tema tesis berupa jejaring sosial memiliki pengaruh negatif terhadap motivasi belajar, kebiasaan belajar, dan prestasi akademik.

Error elimination merupakan upaya menyingkirkan kesalahan. Pada tahap ini dilakukan rumusan hipotesis, uji hipotesis, dan hasil uji hipotesis. Apakah jejaring sosial berpengaruh negatif terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik  atau tidak.

Problem dua adalah kenyataan bahwa pada pelaksanaan tes uji hipotesis, ada sebagian siswa yang prestasi akademiknya bagus meskipun intens menggunakan jejaring sosial. Sehingga, teori lama yang menyatakan jejaring sosial mempunyai pengaruh buruk terhadap prestasi akademik mulai dipertanyakan.

Teori baru lahir  setelah dipastikan teori tentatif tidak ada kesalahan. Bila kesalahan pada tentatif teori tidak ditemukan lagi, maka tentatif teori menjadi teori baru yang sekaligus juga merupakan problem baru  (Popper, 1972: 145).  Atau muncul setelah ada problem dua. Dalam hal ini jejaring sosial tidak berpengaruh negative terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik. Seperti hasil riset  National School Board Association dll.

B.Paradigma

Istilah  paradigma berasal dari bahasa Yunani  yakni “paradeigmata”, “paradeigma”. Para  artinya di sebelah, di samping, berdampingan. Deigma  artinya melihat, menunjukkan. Dalam Bahasa Inggris paradigm artinya example, pattern artinya pola atau model.

Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J Moelong, 1989) mendefinisikan paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengerahkan cara berpikir dan penelitian.

Paradigma dikenalkan oleh Thomas Kuhn  (1922-1996) dalam bukunya berjudul “The Structure of Science Revolution” sebagai dasar utama bidang ilmiah. Menurut Kuhn paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya tidak ada observasi peneliti yang netral, tetapi dibentuk oleh kerangka konseptual. Dalam melakukan penelitian, ilmuwan bekerja di bawah paying paradigma yang akan memuat asumsi dan metodologi.

Secara ringkas paradigm disimpulkan sebagai keseluruhan konstelasi kepercyaan, nilai, dan teknik milik suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma adalah conceptual framework yang mendasari aktivitas ilmiah. Paradigma berdiri di atas metafisika, menentukan jenis metafisika para ilmuwan dalam suatu komunitas

Tahap-tahap perkembangan ilmu menurut Kuhn yakni paradigma satu—sains normal—anomali— krisis—paradigma dua.  Berdasarkan tema tesis, kritik secara  paradigma adalah sebagai berikut. Paradigma satu yakni jejaring sosial mempunyai pengaruh terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik. Studi yang berkembang sebagian besar adalah paradigma jejaring sosial berpengaruh buruk bagi prestasi akademik siswa.

Pada tahap sains normal, terdapat paradigm tunggal bahwa jejaring sosial memiliki pengaruh buruk terhadap motivasi belajar, kebiasaan belajar, dan prestasi akademik siswa. Dalam tahap ini terdap tiga fokus riset yaitu 1) menentukan fakta penting; 2) menyesuaikan fakta dengan teori; 3) mengartikulasikan teori paradigm dengan memecahkan beberapa ambiguitas yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian.

Tahap anomali dapat menggoyahkan paradigma yang sudah terbentuk pada sains normal apabila ada yang menyerang hal-hal paling fundamental dari suatu paradigm dan secara gigih menentang usaha ilmuwan sains normal. Selain itu anomali mempunyai arti penting berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak. Orang mulai ragu apakah jejaring sosial hanya mempunyai dampak buruk bagi kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademik.

Tahap krisis dimulai dengan pengkaburan terhadap paradigma yang ada serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal. Konsekuensinya muncul paradigm baru, setidaknya sebagai embrio. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori baru. Namun, paradigma lama tidak begitu saja ditinggalkan.

Pada masa ini ada mulai berkembang paradigma jejaring sosial hanya faktor distraction dalam belajar. Karena faktanya tidak semua siswa yang bermain jejaring sosial kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademiknya menurun. Hal itu dibuktikan dengan riset yang dilakukan National School Board Association di Amerika menyebutkan sebanyak 60 persen pelajar di Amerika menggunakan jejaring sosial untuk membicarakan topik-topik seputar pendidikan. Peneliti lain seperti Cain Robler dkk (2008) mengungkapkan bahwa jejaring sosial cocok digunakan sebagai media komunikasi guru dengan murid.

Tahap paradigma dua atau paradigm baru berupa kesepakatan paradigm sebagian ilmuwan bahwa jejaring sosial mempunyai pengaruh positif terhadap kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademik siswa.

Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigm lama (satu) kepada paradigm baru (dua) disebut sebagai revolusi sains. Sedangkan peristiwa perubahan kesetiaan komunitas ilmiah dari paradigm lama kepada paradigm baru disebut Gestalt Switch (perpindahan keseluruhan atau tidak sama sekali).

V.Methodology

Perkembangan filsafat penelitian dibagi menjadi tiga bagian yakni prapositivisme, positivism, dan pasca positivisme. Secara garis besar, perbedaan ketiganya di table berikut.

No Pra   Positivisme Positivisme Pasca   Positivisme
1 Realitas berkembang secara alamiah Realitas teramati, bersifat tunggal, dapat diklasifikasikan,determinisme   (hubungan kausal), bebas nilai,relative tetap, dan terukur. Realitas bersifat holistik (utuh),dinamis (tidak   tetap), kompleks saling mempengaruhi, penuh makna, dan terikat nilai.
2 Metode penelitian deskriptif kualitatif Metode penelitian kuantitatif, deduktif. Metode penelitian kualitatif, induktif.
3 Peneliti pasif,menggambarkan apa yang diamati Peneliti melakukan eksperimen, mencari pengaruh   hasil research, dan berupa development. Peneliti memahami makna realitas yang kompleks,   mengkonstruksi fenomena dan mencari makna.

Penelitian ini menggunakan metode triangulasi Metode triangulasi masuk dalam kategori kualitatif yang muncul pada pasca positivisme. Triangulasi merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan periset ketika  mengumpulkan dan menganalisa data penelitian.  Pendekatan ini berpijak pada  asumsi bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Melihat fenomena tunggal dari angle sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal.

Sehingga triangulasi bisa dikatakan sebagai usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang dengan cara mengurangi sebanyak  mungkin bias  yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Menurut Norman K. Denkin  triangulasi meliputi empat hal yaitu: 1)  triangulasi metode; 2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok); 3) triangulasi sumber data, dan 4) triangulasi teori.  Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data  dengan cara yang berbeda.

Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data.  Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Triangulasi teori yaitu hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement.  Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan.

Kritik terhadap triangulasi adalah karena menggunakan terminologi dan cara mirip dengan  paradigma positivisme (kuantitatif), seperti pengukuran dan validitas, triangulasi mengundang perdebatan cukup panjang di antara para ahli penelitian kualitatif. Kritik lain yakni metode yang berbeda-beda dalam satu penelitian  dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang berbeda, tetapi menghasilkan data yang berbeda-beda pula.

Analisa data yang digunakan dalam penelitian adalah deduktif induktif. Pemikiran induktif untuk melakukan generalisasi dari penelitian penelitan. Pemikiran deduktif digunakan untuk menguji hipotesis.

A.Kritik terhadap Metode Kuantitatif

            Metode kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya (Wikipedia). Pendekatan kuantitatif lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif dengan metode verifikasi.

Pendekatan kuantitatif tidak lepas dari paradigma positivism dikenalkan oleh Auguste Comte pada abad 18. Keyakinan dasar positivisme berakar pada ontologi realisme yang menyatakan realitas berada pada kenyataan (eksis) dan berjalan sesuai hukum alam.

Namun, dalam perjalanannya positivisme kemudian dikritik oleh pasca positivisme, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Seperti metode ilmiah adalah metode baku, hal ini bertolak belakang dengan konstruksi sosial Paul Feyerabend. Selain itu, menurut positivisme pertanyaan manusia dan sosial-budaya dapat dijawab dengan metode ilmiah yang baku. Padahal manusia adalah makhluk dinamis tidak seperti obyek ilmu pengetahuan alam yang statis. Sehingga, dalam positivism eksistensi manusia (human being) dianggap seperti mesin.

Positivisme menyatakan obyektivitas total itu dapat dicapai. Hal ini akan sulit terjadi ketika yang diteliti adalah manusia. Karena ada interaksi antara subyek yakni peneliti dengan obyek yang diteliti. Pernyataan lain yakni kuesioner selalu mengemukakan kebenaran. Padahal tidak ada jaminan jawaban dalam kuesioner jujur.

B.Kritik terhadap Metode Kualitatif

Menurut Denzin dan Lincoln (1994) penelitian kualitatif diartikan sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigm teoritis, dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemahaman.

Kualitatif didasari oleh filsafat rasionalisme, naturalisme, dan konstruktivisme. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menafsirkan fenomena sosial. Sehingga dalam penelitian kualitatif periset dapat menggunakan pendekatan hermeunetik, fenomonologi, wawancara, observasi, dll. Sehingga penelitian kualitatif bisa dikatakan mendekati konsep anything goes Paul Fereyabend (Chalmers, 1982).

Kritik terhadap penelitian kualitatif adalah instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Kualitas riset sangat tergantung pada kualitas peneliti. Dengan demikian, jika seorang peneliti sudah memiliki jam terbang tinggi, ia akan lebih peka dalam memahami gejala atau fenomena yang diteliti.

Namun,  ada hal lain yang menjadi hal sulit yakni obyektivitas penelitian. Sehingga tugas periset adalah mereduksi semaksimal mungkin bias yang terjadi sehingga kebenaran secara utuh diperoleh. Pada fase ini para pengamat positivis meragukan tingkat keilmiahan penelitian kualitatif. Bahkan ada yang menganggap penelitian kualitatif tidak ilmiah.

C.Paradigma Pasca Positivisme dalam Psikologi Pendidikan

Paradigma pasca positivisme berkembang sebagai perbaikan positivisme dengan menganggap metodologi penelitian dengan observasi tidak cukup tetapi harus dilengkapi dengan beragam metode (triangulasi), sumber data, dan peneliti.

            Tesis ini merupakan penelitian dalam Psikologi Pendidikan dalam hal ini psikologi kognitif dan perkembangan masuk dalam ranah positivisme. Namun, pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya Psikologi melahirkan dilema. Kuantitatif dianggap sebagai jebakan besar. Hal itu terkait obyek penelitian ilmu sosial adalah manusia (holistik) berbeda dengan alam (atomistik). Kondisi ini mendorong sebagian ilmuwan psikologi berkiblat pada pasca positivisme yakni postmodernisme, critical theory yang mendorong munculnya Psikologi Kritis, Psikologi Modern, Psikologi Kualitatif,dll

Paradigma pasca positivisme secara ontology adalah Realisme Kritis; tidak sempurna dan probabilistik dengan epistemologi objektifis-dualis yang dimodifikasi dan kebenaran adalah kebenaran probable, serta metodologi eksperimental, kritis, falsifikasi, kualitatif dan kuantitatif. Karakter metodologi paradigma pasca positivisme yaitu teori tentative, verisimilitude, kontingen, fallible, mengembangkan critical-multiplism untuk memfalsifikasi teori, memadukan metode kuantitatif dengan kualitatif, namun masih menempatkan prediksi dan kontrol sebagai tujuan ilmiah.

Pada Psikologi Pendidikan paradigma pasca positivisme memberi ruang pada rasionalisme, rasionalisme kritis, falsifikasi Karl R Popper, paradigma Thomas Kuhn, riset program ilmiah Imre Lakatos, anything goes Paul Fayerabend, konstruktivisme, critical theory (teori kritis), termasuk paradigma kuantitatif kualitatif dalam triangulasi.

Konstruktivisme mengintegrasikan positivisme yang berdasar pada empirisme dengan pendekatan induksi dan rasionalisme kritis dengan pendekatan deduksi. Prinsip konstruktivis adalah perkembangan metode mendeterminasi pengetahuan yang mungkin. Konstruktivisme kritis berpendapat bahwa tidaklah mungkin teori dapat dibuktikan secara langsung secara induktif atau pun ditunjukkan ketidakbenarannya secara deduktif melalui empiris. Rasionalisme kritis Popper menurut sebagian ilmuwan adalah konstruktivisme kritis.

Rasionalisme merupakan pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logis. Rasionalisme kritis mendukung ilmu bebas nilai. Teori kritis menolak ilmu bebas nilai karena pandangan ideologis dan menyembunyikan kepentingan di dalamnya. Validitas penelitian dalam rasionalisme kritis didasarkan pada putusan ilmuwan, teori kritis berdasarkan rasionalitas kepentingan ilmuwan.

 

Bibliografi                       

Akhyar, Yusuf. (2010). Falsifikasionisme Karl Raimund Popper Sebagai Alternatif Induktivisme Lingkaran Wina. Departemen Filsafat  Universitas Indonesia

Pratama, Herdito Sandi. (2011). Paradigma dan Metodologi: Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Hadinata, Fristian. (2011). Imre Lakatos dan Paul Feyarabend: Materia Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Pratama, Herdito Sandi. (2011). Popper vs Kuhn: Materi Kuliah Filsafat Imu Pengetahuan.

Akhyar, Yusuf. Isu-Isu Kontemporer Filsafat Untuk Disertasi: Bahan Kuliah Filsafat Ilmu.

Pratama, Herdito Sandi. (2012).Paradigma dan Metodologi: Kuliah Penutup Fislafat Ilmu UIN.

Moleong, Lexy J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remadja Karya.

Brannen, Julia. (1997). Memadu Metod e Kuantitatif dan Kualitatif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, Purbayu Budi. Paradigma Penelitian Kualitatif: Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Fauziyah, Nailatin. (2010).Metode Penelitian Kuantitatif (Pengantar).Surabaya:Prodi Psikologi IAIN Sunan Ampel.

http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/positivisme-tokoh-dan-sejarah-singkat

Pandangan Psikologi Behavioris Tentang Belajar dalam Perspektif Islam


By Susan Sutardjo et al

 

Bab I

Pendahuluan

Belajar merupakan kewajiban bagi setiap insan karena kehidupan itu sendiri merupakan proses pembelajaran. Tanpa belajar, seorang manusia tidak akan mampu bertahan dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam hidupnya. Belajar secara formal bagi manusia dimaksudkan untuk memperluas wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan derajat hidup, kemaslahatan umat, dan mendapat ridho Allah SWT seperti tertuang dalam QS Al Mujadalah: 11. Artinya “….niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang beriman dan berilmu.”

Dalam proses pembelajaran dikenal beragam teori belajar yang didasarkan pada pandangan psikologi termasuk di dalamnya psikologi behavioristik. Teori belajar behavioristik berpendapat bahwa perilaku manusia digerakkan oleh penghargaan (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan.

Prinsip reward dan reinforcement dalam teori belajar behavioristik tidak lepas dari klaim behaviorisme yang memandang pembelajaran sebagai mekanisme sebab akibat dengan mendatangkan faktor eksternal untuk mendapatkan respons yang berlangsung terus menerus dan respons tersebut menjadi perilaku yang dipelajari.

Dengan menggunakan reward, reinforcement atau punishment, misalnya memberikan pujian setiap siswa mengerjakan tugas dengan baik, diharapkan siswa termotivasi sukses dalam belajar. Karena pendekatan behavioristik percaya bahwa perubahan perilaku yang tampak dan permanen merupakan hasil dari pengaruh dari faktor eksternal seperti instruksi dan pengalaman. Misalnya pengalaman siswa mengerjakan tugas dengan baik akan mendapat pujian. Siswa menjadi rajin belajar sebagai hasil atau bentuk respon setelah mendapat pujian dari guru yang merupakan faktor eksternal. Faktor eksternal atau kejadian di di luar individu

Behavioristik lebih menekankan pada perilaku yang terlihat, sehingga pendekatan ini sedikit sekali memperhatikan faktor-faktor tidak terlihat seperti kognisi, emosi, atau kepercayaan diri pembelajar (Arthur-Kelly, Lyons, Butterfield&Gordon, 2006).

Penekanan pada perubahan karena faktor luar seperti reward atau punishment yang mendorong seorang siswa berubah lebih baik menurut sebagian kalangan bukan merupakan hasil dari kedewasaan individu. Hal lain yang menjadi sorotan adalah kaum behavioristik sering menggunakan hewan dalam percobaannya.

Sungguhpun demikian, prinsip belajar behavioristik berkontribusi dalam menciptakan perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Bahkan, Islam juga mengajarkan pemberian reward dan punishment yang menjadi faktor eksternal dalam behaviorisme. Seperti pujian rasulullah kepada para sahabat dan aturan hukuman dalam mendidik seorang anak.

 

Bab II

Literature Review

Psikologi adalaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku (John B. Watson). Menurut John Dewey psikologi adalah ilmu tentang aktivitas mental. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Clifford T Morgan, 1996).  Psikologi adalah ilmu yang mempelajari refleks (Pavlov).

Belajar berarti mengubah atau memperbaiki perilaku melalui latihan, pengalaman atau kontak dengan lingkungan (fisik dan sosial) yang relatif tidak berubah (Quinn, 1995: Feldman 2003, 2008). Belajar juga diartikan sebagai proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif (Skinner). Wittig (1981) mengartikan belajar sebagai perubahan tingkah laku suatu organisme yang terjadi relatif menetap sebagai hasil pengalaman.

Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon (E L Thorndike). Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan diukur. Sehingga belajar dapat didefinisikan sebagai proses memperbaiki perilaku melalui latihan, pengalaman, interaksi stimulus dan respon.

Menurut Feldman (2003) ada tiga hal utama yang harus dipahami dalam belajar yaitu 1) belajar adalah perubahan tingkah laku (yang buruk atau benar); 2) melalui seperangkat latihan dan pengalaman; 3) relatif permanen, tidak hanya muncul sesaat. Dari tiga hal utama ini ada tingkah laku yang terlihat seperti belajar misalnya gerak refleks berlari ketika dikejar anjing dan respons emosi seperti mencintai, menyayangi bukanlah sesuatu yang dipelajari individu tetapi otomatis dilakukan oleh tubuh (Quinn, 1995). 

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.

Bab III

Pembahasan

III A. Tokoh dan Konsep Behaviorisme

Behaviorisme mempelajari perilaku yang dapat diamati. Perilaku yang diamati merupakan respon atau tanggapan berulang atas sebuah stimulus atau rangsangan. Respon terhadap stimulus dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.

Beberapa ciri dari teori behaviorisme antara lain mengutamakan unsure atau bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mengutamakan pembentukan reaksi atau respons, dan menekankan pentingnya latihan.

Aliran behaviorisme berkembang dengan lahirnya teori belajar yang dikenalkan Pavlov, Watson, EL Thorndike, dan Skinner.  Di antara banyak teori belajar behavioristik, terdapat tiga teori yang sangat menonjol yaitu connectionism, classical conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons). Namun, pendekatan connectionism dengan tokoh EL Thorndike masuk ke dalam operant conditioning seperti dalam buku Educational Psychology (Lee Krause K, et all, 2010). Di luar tiga mainstream ini, muncul teori baru yakni contiguous conditioning atau pembiasaan asosiasi dekat.

 

Classical Conditioning

Pengkondisian klasik pertama kali dikenalkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Proses penemuan teori ini tidak sengaja (Feldman, 2003). Pavlov tergugah secara tidak sengaja ketika memperhatikan anjing yang air liurnya menetes mendengar langkah kaki. Padahal menurut pemahaman Pavlov, air liur anjing keluar saat ada makanan. Ia kemudian menyimpulkan anjing tidak hanya merespons ketika lapar. Sehingga teori ini disebut sebagai classical conditioning (Feldman, 2003) yaitu prinsip belajar yang menggunakan pemasangan stimulus netral dan stimulus yang dikondisikan.

Pavlov kemudian melakukan percobaan pada seekor anjing dengan daging yang disebut unconditioned stimulus (US) yaitu stimulus yang menimbulkan respons tanpa dipelajari. Respon atas US ini disebut UR atau unconditioned respons yakni respons yang muncul tanpa dipelajari. Ia kemudian menyalakan lampu (stimulus netral) saat memunculkan daging. Air liur anjing keluar. Pavlov selanjutnya menyalakan lampu tanpa memunculkan daging dan anjing tetap mengeluarkan air liur.

Kesimpulan yang diperoleh adalah asosiasi pada classical conditioning merupakan hubungan yang memiliki makna antara satu stimulus dengan stimulus lainnya. Namun, hubungan ini ada jika stimulus netral yang dikaitkan dengan unconditioned stimulus.

Unconditioned stimulus and response. Unconditioned stimulus yaitu stimulus yang menimbulkan respons tanpa dipelajari. Unconditioned respons yaitu respons tak terkondisi tanpa harus dipelajari. Misalnya daging sebagai stimulus tak terkondisi dan air liur anjing sebagai respons tak terkondisi.

Conditioned stimulus and response. Stimulus terkondisi atau netral adalah stimulus yang perlu dipelajari. Response terkondisi atau respons netral adalah respon yang keluar setelah dipelajari. Misalnya lampu yang dikeluarkan tadinya bersamaan dengan sekerat daging kemudian dikeluarkan tanpa sekerat daging di depan anjing. Ternyata anjing tetap mengeluarkan air liur.

Discrimination, generalization, and extinction. Stimulus diskriminasi yang diajarkan Pavlov adalah menggeneralisasi respons yang dipelajari dengan mengajarkan anjing merespons bunyi garpu tala dengan jarak berbeda.  Pavlov mengenalkan stimulus dikondisikan dengan mengeluarkan bunyi garpu tala tanpa makanan. Ia mempelajari bahwa respons yang dipelajari (air liur) secara berangsur-angsur hilang dan melemah sebagai asosiasi antara dua kejadian (bunyi dan makanan). 

Tokoh Classical Conditioning

I.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Pavlov seorang peneliti fisiologi dari Rusia (Schwartz, 1986; Feldman, 2003). Pavlov belajar kimia dan fisiologi di University of St Petersburg. Ia menyelesaikan studi doktoralnya pada 1879. Tahun 1883 Pavlov menyelesaikan kuliah kedokteran di Imperial Medical Academy. Pavlov dikenal dengan percobaannya tentang hubungan air liur anjing dengan makanan dengan menggunakan lampu sebagai stimulus netral.

Hukum belajar menurut Ivan Pavlov yaitu:

Law of Respondent Conditioning (Pembiasaan). Jika dua stimulus dihadirkan secara simultan yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer maka refleks dan stimulus yang lainnya akan meningkat.

Law of Respondent Extinction (Pemusnahan). Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

II. John B. Watson (1878 – 1958)

Prinsip behavior Pavlov kemudian dikembangan oleh John B Watson. Watson seorang psikolog Amerika yang mengenalkan behaviorisme ke dalam psikologi Amerika Serikat. John Watson lahir pada tahun 1878 dan meninggal tahun 1958. Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago.

Minat awal Watson adalah belajar filsafat, sebelum beralih ke psikologi. Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan. Tahun 1903 ia menyelesaikan disertasinya. Tahun 1908 ia pindah ke John Hopkins University dan menjadi direktur laboratorium Psikologi di sana. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang dikenal sebagai ‘behaviorist’s manifesto’, yaitu “Psychology as the Behaviorists Views it”.

Watson disebut sebagai seorang behavioris murni. Kajiannya tentang belajar disamakan dengan ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada pengalaman empirik yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan diukur. Jadi perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.

Watson tidak mempercayai unsur hereditas (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.  Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik yaitu perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.

Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Menurutnya yang lebih penting adalah proses adaptasi, gerakan otot-otot, dan aktivitas kelenjar. Ia mementingkan perilaku terbuka yang mudah diamati dan diukur.  

Operant Conditioning

Pengkondisian operan merupakan teknik pembentukan tingkah laku yang menggunakan reinforce atau penguatan untuk menimbulkan respon yang diinginkan. Prinsipnya setiap stimulus mungkin akan menghasilkan beberapa respons.

Untuk mendapatkan respons yang diinginkan, maka hanya respons-respons tertentu yang diperkuat dengan reinforcement. Atau ketika muncul respons yang tidak diinginkan, maka respons tersebut dilemahkan dan akhirnya menjadi respons yang dipelajari. Sehingga pengkondisian operan adalah respons alami yang diperkuat atau dilemahkan, tergantung kondisi yang diterima atau ditolak (Feldman, 2003).

Eksperimen terkenal dalam operant conditioning adalah percobaan BF Skinner pada tikus dan perlengkapan berupa kandang. Skinner memasukkan seekor tikus ke dalam kandang. Ketika lapar, tikus bisa mengambil makanan sendiri dari jendela yang ada. Namun, kotak berisi makanan kadang kosong. Ketika ia membuka jendela dan kotak makanan kosong, tikus menerima kejutan listrik di kakinya. Jika ia membuka jendela dan di dalam kotak ada makanan, bel berbunyi atau lampu menyala. Lama kelamaan, tikus itu hanya mau mengambil makanan kalau bel berbunyi atau lampu menyala. Tikus itu belajar membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya.

Hasil eksperimen Skinner membuktikan bahwa dalam membentuk suatu perilaku bisa menggunakan reward (reinforcement positif), dan punishment (reinforcment negatif). Skinner beranggapan bahwa hukuman dalam jangka waktu panjang tidak akan mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya dibandingkan segi positif. Karena itu, untuk membentuk suatu perilaku yang diharapkan, ia menyarankan agar lebih banyak menggunakan reward dibanding punishment.

Tokoh Operant Conditioning

I.Burhus Frederic Skinner (1904–1990)

BF Skinner seorang penganut behaviorisme berkebangsaan Amerika. Dalam buku About Behaviorism (1974) Skinner mengungkapkan bahwa tingkah laku terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri.

Skinner menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut dia hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) melalui interaksi dengan lingkungannya, yang menimbulkan perubahan tingkah laku, tidak sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurut Skinner respon yang diterima seseorang tidak sederhana karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berhubungan. Interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon ini memiliki konsekuensi yang akan  mempengaruhi munculnya perilaku.

Dalam memahami tingkah laku seseorang, harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah karena memerlukan penjelasan lagi.

Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin.

Prinsip belajar Skinners antara lain a.Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. c. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. d. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. e. Dalam pembelajaran digunakan shapping.

II. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)

Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan.  Teori Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme.

Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :

a.The Law of Effect (Hukum Akibat). Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

b. The Law of Exercise (Hukum Latihan). Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal: 1) The Law of Use : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu. 2) The Law of Disue : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan hubungan tersebut.

c. The Law of Readiness (Hukum Kesiapan) Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Connectionism

Teori koneksionisme dikenalkan dan dikembangkan oleh Edward L Thorndike. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan

Contiguous Conditioning

Penjelasan behavioral atau hal yang berhubungan dengan perilaku manusia dalam pembelajaran terkait dengan prinsip dasar yakni mekanisme sebab akibat. Sebab akibat bisa terjadi karena orang membuat asosiasi atau koneksi antara satu hal dengan hal lain yang diperoleh dari pengalaman. Misalnya mengasosiasikan angka dua dengan bebek atau angka empat dengan kursi. Pandangan behavioris yang mengacu pada asosiasi disebut sebagai contiguity atau kedekatan asosiasi antar stimulus respons.

Contiguity berasumsi bahwa dua kejadian atau sensasi yang terjadi pada waktu sama akan membentuk sebuah asosiasi. Contiguity menggunakan prinsip sederhana yang bisa digunakan oleh siswa dalam membangun asosiasi antara stimulus khusus seperti obyek, kejadian, sensasi sering terjadi pada saat bersamaan.

Contiguity atau contiguous conditioning (pembiasaan asosiasi dekat) merupakan teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respons yang relevan.

Tokoh Contiguity

Edwin Guthrie

Guthrie menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.

Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, sehingga dalam kegiatan belajar peserta didik perlu diberi stimulus dengan sering agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

III B. Implementasi dalam Pendidikan

Teori operant conditioning lebih sering diterapkan dalam dunia pendidikan. Pendidik menggunakan pendekatan ini untuk menguatkan tingkah laku yang diinginkan dan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan. Jika ada perilaku yang kurang, pemberian punishment dimungkinkan dan ini tidak terjadi pada pengkondisian klasik.

Teori Skinner juga paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar Skinner.

Kritik Implementasi Behavioristik dalam Pendidikan

Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) kepada orang yang belajar atau pembelajar.

Fungsi pikiran dalam teori behavioristik adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implementasi  teori behavioristik dalam proses pembelajaran dinilai kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa  kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Teori behavioristik memandang  pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa harus mengikuti aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku  harus diberi hadiah (reward).

Ketaatan pada aturan dilihat sebagai penentu keberhasilan belajar berdampak pada siswa . adalah objek yang harus  berperilaku sesuai dengan aturan. Kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan  pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.

Penyajian isi atau materi pelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut.

Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar sesuai dengan keinginan guru. Hal ini menurut teori behavioristik menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

III C. Belajar Behavioris dalam Perspektif Islam

Faktor luar dalam teori behavioristik seperti punishment dan reward terdapat dalam Al Qur’an. Punishment (hukuman) dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘iqab. Al-Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20 kali dalam 11 surat. Kata ‘iqab mayoritas didahului oleh
kata syadiid (yang paling, amat, dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan arti keburukan dan azab yang menyedihkan, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 11 dan al-Anfal: 13. Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ‘iqab ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia.

Jika ‘iqab dihubungkan dengan pendidikan Islam, maka ‘iqab diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan;  2) balasan dari perbuatan buruk yang dilakukan siswa

Selain kata tsawab dan ‘iqob, Al-Quran juga menggunakan kata targhib dan tarhib. Perbedaannya, kalau tsawab dan ‘iqob lebih berkonotasi pada bentuk aktivitas dalam memberikan ganjaran dan hukuman seperti memuji dan memukul, sedangkan kata targhib dan tarhib lebih berhubungan dengan janji atau harapan untuk mendapatkan kesenangan jika melakukan suatu kebajikan atau ancaman untuk mendapatkan siksaan kalau melakukan perbuatan tercela.

Ajaran islam memberikan penjelasan tentang teknik penerapan reward dan punishment dalam upaya pembentukan perilaku. Reward berupa pujian kata-kata dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah memberikan pujian kepada Mua’adz ketika ia bertanya tentang perbuatan apa yang bisa memasukannya ke dalam surga.

Kala itu Rosululloh menjawab dengan jawaban: Bakhin, bakhin (bagus, bagus) sungguh pertanyaan yang agung. Setelah itu Rosululloh menjawab pertanyaannya. Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Rosululloh menjawab pertanyaan Abu Hurairoh tentang orang yang paling beruntung ketika mendapat syafaat Rosul di hari akhir nanti. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut Rosululloh mengatakan: Sudah saya duga, tidak aka nada orang yang bertanya tentang masalah ini selain dirimu.

Berbagai teknik pemberian reward dalam ajaran Islam antara lain:

  1. Menggunakan ungkapan kata. Penggunaan teknik ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husein yang menunggangi punggungnya seraya beliau berkata, “Sebaik-baik unta adalah unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian.” Guru hendaknya memberi ganjaran atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik perhatian siswa. Ganjaran-ganjaran yang diberikan terhadap suatu perbuatan baik akan menjadi penguatan siswa terus berbuat baik.
  1. Memberi hadiah. Cara ini bukan hanya untuk menunjukkan perasaan      cinta, tetapi juga dapat menarik cinta siswa. Rasulullah telah mengajarkan      hal tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian      niscaya kalian saling mencintai.” Guru hendaknya mengetahui apa yang disukai      dan diharapkan oleh siswanya. Sehingga hadiah yang diberikan kepada siswa tidak sama sesuai      dengan kondisi dan keadaan siswanya. Hadiah yang diberikan ebisa mungkin mendukung aktivitas belajar siswa.
  2. Memberikan      senyuman atau tepukan. Senyuman merupakan sedekah sebagaimana dikatakan      oleh Rasulullah SAW: “Senyumanmu terhadap      saudaramu adalah sedekah.” Senyuman mempunyai pengaruh yang sangat      kuat. Ketika      berbicara dengan murid hendaknya seorang guru tersenyum. Demikian      juga dengan tepukan tangan, misalnya seorang guru menepuk-nepuk pundak      siswanya ketika siswa tersebut mampu mengerjakan pekerjaan rumah dengan      baik.
  3. Membagi      pandangan secara      merata kepada seluruh siswa. Sehingga      siswa merasa dihargai.

Hukuman sebagai salah satu metode pendidikan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti siswa baik secara fisik maupun psikis. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan siswa dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Pemberian hukuman harus dimulai dari tindakan sebelumnya yang dimulai dari teguran langsung, sindiran, melalui celaan, dan melalui pukulan. Dalam memberikan hukuman, setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman. Pertama, pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, dan kasih sayang. Kedua, harus didasarkan pada alasan keharusan. Ketiga, harus menimbulkan kesan di hati anak. Keempat, harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. Kelima, harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.

Rasulullah SAW memberikan contoh dalam menjatuhkan hukuman pada anak yang bisa diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar.

  1. Menegur      langsung. Umar bin Abi Salmah r.a. berkata, “Dulu aku menjadi pembantu di      rumah Rasulullah. ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke      berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, ‘Hai ghulam, bacalah      basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di      dekatmu.”
  2. Memukul. Ajaran Islam membolehkan pada pendidik memukul sebagai salah satu bentuk      punishment dalam praktik pendidikan. Namun demikian, terdapat beberapa      aturan yang mampu melindungi anak dari efek negitif yang mungkin di      timbulkan.

Diantara persyaratan yang membolehkan memukul diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Jangan terlalu cepat memukul anak, jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, anak harus diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatannya; 2) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi dan tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah yang menyatakan, Jangan marah!;

3) Pukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau muka. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah, Jika salah seorang dari kamu memukul, maka jauhilah muka. Pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh.

Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan kesepuluh. Hal itu mengacu pada sabda Rasulullah, Tidak mendera di atas sepuluh deraan kecuali dalam hukuman pelanggaran maksiat (hudud);

4) Hukuman harus dilakukan oleh pendidik sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan. Seorang pendidik harus  menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung ketika siswa melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan, apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini tidak berdampak pada perbaikan.

5) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia lidak boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.

Bab VI

Kesimpulan

Islam sebagai ajaran agama membolehkan pendidik menggunakan prinsip behavioristik sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga implementasi pendekatan behavioristik tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam.

 

Bibliografi

Suralaga, Fadhilah, dkk (2005). Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Jakarta:UIN Jakarta Press.

Krause, Kerri Lee et all (2010). Educational Psychology for Learning and Teaching.Australia: Cengage Learning.

Sukmadinata, Nana Saodih (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sarwono, Sarlito W (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press.

Syah, Muhibbin (2011). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press.

https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm

http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html

Behaviorism

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

http://walmah.wordpress.com/

http://www.uin-malang.ac.id

Photo by Jeffrey Czum on Pexels.com