Paradigma Pasca Positivisme
dalam Penelitian Psikologi Pendidikan
I.Background
Situs jejaring sosial muncul pada 1997 dengan ditandai lahirnya Sixdegrees.com. Situs ini memiliki aplikasi profil, menambah teman, dan mengirim pesan (Boyd&Ellison: 2007). Kemunculan Sixdegrees.com kemudian diikuti dengan social media network lain seperti friendster, my space, facebook, twitter, dll.
Jumlah pengguna jejaring sosial terus bertambah seiring pertumbuhan pemakai internet dan terobosan aplikasi jejaring sosial dan internet yang diintegrasikan dalam telepon genggam. Berdasarkan riset Yahoo bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009 menyebutkan bahwa mayoritas pengguna internet berasal dari kalangan remaja usia sekolah rentang umur 15 tahun hingga 19 tahun dengan prosentase mencapai 64 persen. Sebanyak 53 persen berasal dari kalangan remaja yang notabene merupakan usia sekolah.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan, pengguna internet di Indonesia pada 2009 diperkirakan mencapai 25 juta dengan pertumbuhan setiap tahun rata-rata 25 persen. Berdasarkan survey MarkPlus Insight yang dirilis Majalah Marketeers jumlah pengguna internet per Oktober 2011 mencapai 55 juta orang atau naik dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 42 juta. Menariknya sekitar 50 persen hingga 80 persen pengguna internet berasal dari kalangan muda dengan dominasi umur 15 hingga 30 tahun. Rata-rata mereka mengakses internet sekitar 3 jam sehari.
Menurut riset Nielsen jumlah pengguna Facebook di Indonesia pada 2009 meningkat 700 persen ketimbang tahun 2008, pengguna Twitter melonjak hingga 3.700 persen. Sebagian besar pengguna kedua jejaring sosial berusia 15-39 tahun. Dengan demikian, jumlah pengguna kedua facebook dan twitter berasal dari kalangan remaja usia sekolah. Per November 2011 jumlah pengguna facebook dan twitter mencapai 47 juta orang.
Penggunaan jejaring sosial tanpa pengendalian diri pada siswa dikhawatirkan mempengaruhi motivasi belajar dan prestasi belajar. Penelitian ini melibatkan siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan mahasiswa.
II.Novelty
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan situs jejaring sosial menyebabkan prestasi akademik menurun. Penggunaan situs jejaring sosial disinyalir menjadi penyebab menurunnya motivasi belajar karena siswa lebih semangat bermain situs jejaring sosial ketimbang belajar, berkurangnya waktu belajar, dan mengganggu konsentrasi belajar. Padahal penggunaan teknologi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas siswa dalam membangun modal sosial yang kuat (Oskouei, 2010).
Psikolog asal Belanda Paul A Kirschnera and Aryn C. Karpinski (2009) dari Pusat Studi Sains dan Teknologi Open University Belanda dan Ohio State University menyebutkan bahwa tidak ada korelasi langsung antara jejaring sosial seperti facebook yang menyebabkan nilai para mahasiswa atau pelajar menjadi jeblok. Namun diduga jejaring sosial telah menyebabkan waktu belajar para siswa atau mahasiswa tersita oleh keasyikan berselancar di situs jejaring sosial. Para pengguna jejaring sosial mengakui waktu belajar mereka memang telah tersita. Rata-rata para siswa pengguna jejaring sosial kehilangan waktu antara 1 – 5 jam sampai 11 – 15 jam waktu belajarnya per minggu untuk bermain jejaring sosial di internet.
Sehingga kebiasaan belajar termasuk di dalamnya lama belajar juga berperan penting dalam kesuksesan hasil belajar. Penggunaan jejaring sosial yang berjam-jam secara tidak langsung akan mengurangi jatah belajar. Demikian juga motivasi belajar yang turun karena siswa lebih semangat bermain jejaring sosial ketimbang belajar.
III.Thesis Statement
Penggunaan jejaring sosial diduga mempengaruhi motivasi dan prestasi akademik siswa. Semakin lama menggunakan jejaring sosial, jam belajar berkurang, motivasi menurun, prestasi akademik juga menurun.
IV.Kritik Terhadap Pengaruh Jejaring Sosial.
A.Falsifikasi
Falsifikasi adalah proses pembuktian untuk menentukan suatu teori salah atau tidak. Hal ini berbeda dengan verifikasi yang digunakan untuk membuktikan suatu teori benar atau tidak. Falsifikasi dikenalkan oleh Karl Raimund Popper (1902-1994). Dengan pemikiran rasionalisme kritis Popper mengritik prinsip positivisme logis walaupun ia tetap mendukung kesatuan metode ilmiah dengan menggeser induksi (verifikasi) dengan deduksi (falsifikasi) (Popper, 1976: 34).
Dengan falsifikasi Popper menolak metode induksi dalam verifikasi teori Lingkaran Wina. Ia berpendapat bahwa ilmu berkembang lewat konjektur yang imajinatif dan berani, namun tetap dikontrol oleh tes sistematis. Epistemologi yang paling menarik menurut Popper adalah problem pertumbuhan pengetahuan ilmiah.
Tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah yaitu problem satu—teori tentaif—error ellimination—problem dua—teori baru.
Problem satu artinya ilmu pengetahuan bermula dari satu masalah berupa penyimpangan yang menyebabkan orang mulai mempertanyakan keabsahan sebuah prediksi. Dikaitkan dengan tema tesis, maka keberadaan jejaring sosial dikhawatirkan mempunyai pengaruh negatif terhadap kebiasaan belajar, motivasi dan prestasi akademik.
Tahap kedua yaitu teori tentatif. Pada fase ini muncul teori tentatif bersifat terkaan atau percobaan. Teori tentatif terhadap tema tesis berupa jejaring sosial memiliki pengaruh negatif terhadap motivasi belajar, kebiasaan belajar, dan prestasi akademik.
Error elimination merupakan upaya menyingkirkan kesalahan. Pada tahap ini dilakukan rumusan hipotesis, uji hipotesis, dan hasil uji hipotesis. Apakah jejaring sosial berpengaruh negatif terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik atau tidak.
Problem dua adalah kenyataan bahwa pada pelaksanaan tes uji hipotesis, ada sebagian siswa yang prestasi akademiknya bagus meskipun intens menggunakan jejaring sosial. Sehingga, teori lama yang menyatakan jejaring sosial mempunyai pengaruh buruk terhadap prestasi akademik mulai dipertanyakan.
Teori baru lahir setelah dipastikan teori tentatif tidak ada kesalahan. Bila kesalahan pada tentatif teori tidak ditemukan lagi, maka tentatif teori menjadi teori baru yang sekaligus juga merupakan problem baru (Popper, 1972: 145). Atau muncul setelah ada problem dua. Dalam hal ini jejaring sosial tidak berpengaruh negative terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik. Seperti hasil riset National School Board Association dll.
B.Paradigma
Istilah paradigma berasal dari bahasa Yunani yakni “paradeigmata”, “paradeigma”. Para artinya di sebelah, di samping, berdampingan. Deigma artinya melihat, menunjukkan. Dalam Bahasa Inggris paradigm artinya example, pattern artinya pola atau model.
Bogdan dan Biklen (1982 dalam Lexy J Moelong, 1989) mendefinisikan paradigma sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengerahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma dikenalkan oleh Thomas Kuhn (1922-1996) dalam bukunya berjudul “The Structure of Science Revolution” sebagai dasar utama bidang ilmiah. Menurut Kuhn paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya tidak ada observasi peneliti yang netral, tetapi dibentuk oleh kerangka konseptual. Dalam melakukan penelitian, ilmuwan bekerja di bawah paying paradigma yang akan memuat asumsi dan metodologi.
Secara ringkas paradigm disimpulkan sebagai keseluruhan konstelasi kepercyaan, nilai, dan teknik milik suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma adalah conceptual framework yang mendasari aktivitas ilmiah. Paradigma berdiri di atas metafisika, menentukan jenis metafisika para ilmuwan dalam suatu komunitas
Tahap-tahap perkembangan ilmu menurut Kuhn yakni paradigma satu—sains normal—anomali— krisis—paradigma dua. Berdasarkan tema tesis, kritik secara paradigma adalah sebagai berikut. Paradigma satu yakni jejaring sosial mempunyai pengaruh terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik. Studi yang berkembang sebagian besar adalah paradigma jejaring sosial berpengaruh buruk bagi prestasi akademik siswa.
Pada tahap sains normal, terdapat paradigm tunggal bahwa jejaring sosial memiliki pengaruh buruk terhadap motivasi belajar, kebiasaan belajar, dan prestasi akademik siswa. Dalam tahap ini terdap tiga fokus riset yaitu 1) menentukan fakta penting; 2) menyesuaikan fakta dengan teori; 3) mengartikulasikan teori paradigm dengan memecahkan beberapa ambiguitas yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian.
Tahap anomali dapat menggoyahkan paradigma yang sudah terbentuk pada sains normal apabila ada yang menyerang hal-hal paling fundamental dari suatu paradigm dan secara gigih menentang usaha ilmuwan sains normal. Selain itu anomali mempunyai arti penting berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak. Orang mulai ragu apakah jejaring sosial hanya mempunyai dampak buruk bagi kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademik.
Tahap krisis dimulai dengan pengkaburan terhadap paradigma yang ada serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal. Konsekuensinya muncul paradigm baru, setidaknya sebagai embrio. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori baru. Namun, paradigma lama tidak begitu saja ditinggalkan.
Pada masa ini ada mulai berkembang paradigma jejaring sosial hanya faktor distraction dalam belajar. Karena faktanya tidak semua siswa yang bermain jejaring sosial kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademiknya menurun. Hal itu dibuktikan dengan riset yang dilakukan National School Board Association di Amerika menyebutkan sebanyak 60 persen pelajar di Amerika menggunakan jejaring sosial untuk membicarakan topik-topik seputar pendidikan. Peneliti lain seperti Cain Robler dkk (2008) mengungkapkan bahwa jejaring sosial cocok digunakan sebagai media komunikasi guru dengan murid.
Tahap paradigma dua atau paradigm baru berupa kesepakatan paradigm sebagian ilmuwan bahwa jejaring sosial mempunyai pengaruh positif terhadap kebiasaan belajar, motivasi, dan prestasi akademik siswa.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigm lama (satu) kepada paradigm baru (dua) disebut sebagai revolusi sains. Sedangkan peristiwa perubahan kesetiaan komunitas ilmiah dari paradigm lama kepada paradigm baru disebut Gestalt Switch (perpindahan keseluruhan atau tidak sama sekali).
V.Methodology
Perkembangan filsafat penelitian dibagi menjadi tiga bagian yakni prapositivisme, positivism, dan pasca positivisme. Secara garis besar, perbedaan ketiganya di table berikut.
No
|
Pra Positivisme
|
Positivisme
|
Pasca Positivisme
|
1
|
Realitas berkembang secara alamiah
|
Realitas teramati, bersifat tunggal, dapat diklasifikasikan,determinisme (hubungan kausal), bebas nilai,relative tetap, dan terukur.
|
Realitas bersifat holistik (utuh),dinamis (tidak tetap), kompleks saling mempengaruhi, penuh makna, dan terikat nilai.
|
2
|
Metode penelitian deskriptif kualitatif
|
Metode penelitian kuantitatif, deduktif.
|
Metode penelitian kualitatif, induktif.
|
3
|
Peneliti pasif,menggambarkan apa yang diamati
|
Peneliti melakukan eksperimen, mencari pengaruh hasil research, dan berupa development.
|
Peneliti memahami makna realitas yang kompleks, mengkonstruksi fenomena dan mencari makna.
|
Penelitian ini menggunakan metode triangulasi Metode triangulasi masuk dalam kategori kualitatif yang muncul pada pasca positivisme. Triangulasi merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan periset ketika mengumpulkan dan menganalisa data penelitian. Pendekatan ini berpijak pada asumsi bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Melihat fenomena tunggal dari angle sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal.
Sehingga triangulasi bisa dikatakan sebagai usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.
Menurut Norman K. Denkin triangulasi meliputi empat hal yaitu: 1) triangulasi metode; 2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok); 3) triangulasi sumber data, dan 4) triangulasi teori. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda.
Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Triangulasi teori yaitu hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan.
Kritik terhadap triangulasi adalah karena menggunakan terminologi dan cara mirip dengan paradigma positivisme (kuantitatif), seperti pengukuran dan validitas, triangulasi mengundang perdebatan cukup panjang di antara para ahli penelitian kualitatif. Kritik lain yakni metode yang berbeda-beda dalam satu penelitian dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang berbeda, tetapi menghasilkan data yang berbeda-beda pula.
Analisa data yang digunakan dalam penelitian adalah deduktif induktif. Pemikiran induktif untuk melakukan generalisasi dari penelitian penelitan. Pemikiran deduktif digunakan untuk menguji hipotesis.
A.Kritik terhadap Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya (Wikipedia). Pendekatan kuantitatif lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif dengan metode verifikasi.
Pendekatan kuantitatif tidak lepas dari paradigma positivism dikenalkan oleh Auguste Comte pada abad 18. Keyakinan dasar positivisme berakar pada ontologi realisme yang menyatakan realitas berada pada kenyataan (eksis) dan berjalan sesuai hukum alam.
Namun, dalam perjalanannya positivisme kemudian dikritik oleh pasca positivisme, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Seperti metode ilmiah adalah metode baku, hal ini bertolak belakang dengan konstruksi sosial Paul Feyerabend. Selain itu, menurut positivisme pertanyaan manusia dan sosial-budaya dapat dijawab dengan metode ilmiah yang baku. Padahal manusia adalah makhluk dinamis tidak seperti obyek ilmu pengetahuan alam yang statis. Sehingga, dalam positivism eksistensi manusia (human being) dianggap seperti mesin.
Positivisme menyatakan obyektivitas total itu dapat dicapai. Hal ini akan sulit terjadi ketika yang diteliti adalah manusia. Karena ada interaksi antara subyek yakni peneliti dengan obyek yang diteliti. Pernyataan lain yakni kuesioner selalu mengemukakan kebenaran. Padahal tidak ada jaminan jawaban dalam kuesioner jujur.
B.Kritik terhadap Metode Kualitatif
Menurut Denzin dan Lincoln (1994) penelitian kualitatif diartikan sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigm teoritis, dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemahaman.
Kualitatif didasari oleh filsafat rasionalisme, naturalisme, dan konstruktivisme. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menafsirkan fenomena sosial. Sehingga dalam penelitian kualitatif periset dapat menggunakan pendekatan hermeunetik, fenomonologi, wawancara, observasi, dll. Sehingga penelitian kualitatif bisa dikatakan mendekati konsep anything goes Paul Fereyabend (Chalmers, 1982).
Kritik terhadap penelitian kualitatif adalah instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Kualitas riset sangat tergantung pada kualitas peneliti. Dengan demikian, jika seorang peneliti sudah memiliki jam terbang tinggi, ia akan lebih peka dalam memahami gejala atau fenomena yang diteliti.
Namun, ada hal lain yang menjadi hal sulit yakni obyektivitas penelitian. Sehingga tugas periset adalah mereduksi semaksimal mungkin bias yang terjadi sehingga kebenaran secara utuh diperoleh. Pada fase ini para pengamat positivis meragukan tingkat keilmiahan penelitian kualitatif. Bahkan ada yang menganggap penelitian kualitatif tidak ilmiah.
C.Paradigma Pasca Positivisme dalam Psikologi Pendidikan
Paradigma pasca positivisme berkembang sebagai perbaikan positivisme dengan menganggap metodologi penelitian dengan observasi tidak cukup tetapi harus dilengkapi dengan beragam metode (triangulasi), sumber data, dan peneliti.
Tesis ini merupakan penelitian dalam Psikologi Pendidikan dalam hal ini psikologi kognitif dan perkembangan masuk dalam ranah positivisme. Namun, pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya Psikologi melahirkan dilema. Kuantitatif dianggap sebagai jebakan besar. Hal itu terkait obyek penelitian ilmu sosial adalah manusia (holistik) berbeda dengan alam (atomistik). Kondisi ini mendorong sebagian ilmuwan psikologi berkiblat pada pasca positivisme yakni postmodernisme, critical theory yang mendorong munculnya Psikologi Kritis, Psikologi Modern, Psikologi Kualitatif,dll
Paradigma pasca positivisme secara ontology adalah Realisme Kritis; tidak sempurna dan probabilistik dengan epistemologi objektifis-dualis yang dimodifikasi dan kebenaran adalah kebenaran probable, serta metodologi eksperimental, kritis, falsifikasi, kualitatif dan kuantitatif. Karakter metodologi paradigma pasca positivisme yaitu teori tentative, verisimilitude, kontingen, fallible, mengembangkan critical-multiplism untuk memfalsifikasi teori, memadukan metode kuantitatif dengan kualitatif, namun masih menempatkan prediksi dan kontrol sebagai tujuan ilmiah.
Pada Psikologi Pendidikan paradigma pasca positivisme memberi ruang pada rasionalisme, rasionalisme kritis, falsifikasi Karl R Popper, paradigma Thomas Kuhn, riset program ilmiah Imre Lakatos, anything goes Paul Fayerabend, konstruktivisme, critical theory (teori kritis), termasuk paradigma kuantitatif kualitatif dalam triangulasi.
Konstruktivisme mengintegrasikan positivisme yang berdasar pada empirisme dengan pendekatan induksi dan rasionalisme kritis dengan pendekatan deduksi. Prinsip konstruktivis adalah perkembangan metode mendeterminasi pengetahuan yang mungkin. Konstruktivisme kritis berpendapat bahwa tidaklah mungkin teori dapat dibuktikan secara langsung secara induktif atau pun ditunjukkan ketidakbenarannya secara deduktif melalui empiris. Rasionalisme kritis Popper menurut sebagian ilmuwan adalah konstruktivisme kritis.
Rasionalisme merupakan pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logis. Rasionalisme kritis mendukung ilmu bebas nilai. Teori kritis menolak ilmu bebas nilai karena pandangan ideologis dan menyembunyikan kepentingan di dalamnya. Validitas penelitian dalam rasionalisme kritis didasarkan pada putusan ilmuwan, teori kritis berdasarkan rasionalitas kepentingan ilmuwan.
Bibliografi
Akhyar, Yusuf. (2010). Falsifikasionisme Karl Raimund Popper Sebagai Alternatif Induktivisme Lingkaran Wina. Departemen Filsafat Universitas Indonesia
Pratama, Herdito Sandi. (2011). Paradigma dan Metodologi: Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Hadinata, Fristian. (2011). Imre Lakatos dan Paul Feyarabend: Materia Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pratama, Herdito Sandi. (2011). Popper vs Kuhn: Materi Kuliah Filsafat Imu Pengetahuan.
Akhyar, Yusuf. Isu-Isu Kontemporer Filsafat Untuk Disertasi: Bahan Kuliah Filsafat Ilmu.
Pratama, Herdito Sandi. (2012).Paradigma dan Metodologi: Kuliah Penutup Fislafat Ilmu UIN.
Moleong, Lexy J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remadja Karya.
Brannen, Julia. (1997). Memadu Metod e Kuantitatif dan Kualitatif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, Purbayu Budi. Paradigma Penelitian Kualitatif: Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Fauziyah, Nailatin. (2010).Metode Penelitian Kuantitatif (Pengantar).Surabaya:Prodi Psikologi IAIN Sunan Ampel.
http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/positivisme-tokoh-dan-sejarah-singkat