Terima Saja Jika…


Hari ini serupa sebelumnya, mendung. Berkabut seperti wajahku dulu saat keluar dari sidang tugas akhir kuliah. Untuk proses, percayalah aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.

Si pesakitan yang awalnya sok-sokan, akhirnya keok…

Dengan model salah satu penguji yang terkenal killer, suka menjatuhkan, di republik wakanda dan kerajaan bikini bottom. Untungnya aku masih waras. Ga mau pakai naburin garam di sekitar ruangan sidang…hehhh

Cerita soal dosenku yang killer ini, aku sudah merasakan jawaban mautnya yang bikin mental kita langsung jatuh ke jurang. Jika pertanyaan kita ga sesuai dengan frame berpikirnya, atau menurutnya aneh, maka jawabannya akan bikin kita sakit hati dan malu seubun-ubun. Ga tahu tuh ubun-ubun kok bisa punya malu. Sejak kapan?

Bahkan saking menakutkannya tuh dosen, teman kuliah yang satu kelompok sama aku,sampai menangis. Gara-gara dosen itu nyecer pertanyaan kritis plus sadis ke temanku. Masih kuingat airmatanya dulu…

Kebayang kan, dosen sekiller itu menjadi pengujiku. Andaikan aku bisa nawar sama pihak kampus, ingin banget beliau diganti. Tapi kan gak ada sesi tawar menawar hiks. Ya sudahlah, aku terima. Mungkin ini sudah takdirku.

Hari pembantaian pun tiba. Segala doa sudah kupanjatkan, agar aku tidak gemeteran menghadapi dia. Awalnya berjalan seperti rencana. Tapi, begitu masuk ke sesi pembantaian, alias pengujian, ada hal “aneh” yang menurutku ga bakal ada titik temu.

Jadi, aku sama dosen itu beda mazhab beb soal metodologi penelitian. Karena mazhabnya beda, otomatis fokusnya juga akan beda.

Materi yang kupelajari, dan data yang bulanan sudah serupa kencan, seperti tidak ada gunanya. Karena jawaban Dan dataku tidak akan pernah benar dengan penguji yang paham metodologinya berbeda.

Aku dicecer habis-habisan. Sejatinya aku mau bilang ke orang-orang yang ada dalam ruangan itu.Pemahaman metodologi penguji kontra dengan metodologi tugas akhirku. Sebagian jawabanku tidak akan pas untuk pertanyaan beliau

Tapi di sana kan aku seorang mirip terdakwa atau pesakitan. Aku ga punya hak suara. Akhirnya aku hanya bisa diam, berusaha terima disalahkan yang sejatinya karena beda pemahaman.

Keluar sidang, nuraniku berontak. Dalam hati aku tidak terima diperlakukan seperti itu.Dosen tidak selalu benar.Mahasiswa juga tidak selalu salah.Tapi, di ruang sidang, aku lebih mirip pesakitan tanpa bisa mengutarakan hal dasar yang membuat pengujian serupa pembantaian

Di sudut kampus, aku lemas terduduk. Melihat nanar ke depan. Air bening tanpa kuminta mengalir dari sudut mataku. Perjuanganku belajar hingga pagi seperti sia-sia.

Satu-satunya hal yang membuatku masih agak lega adalah ucapan dosen itu kalau karyaku bagus, di depan penguji lain. Hal yang sangat jarang dia sampaikan. Tapi dalam hati, kalau bagus, kenapa dataku disalahkan?

Saat air mataku terus menerobos dari sudut mata, suara hatiku yang terdengar dari jauh berkata “Terima saja, jika proses sidang ini tak seperti yang kamu kira.”

Respons, perlakuan dosen penguji selama sidang merupakan hal yang tidak bisa kukontrol atau indifferent yang tak kuinginkan. Jika aku tak terima, aku mau protes sama siapa?

#tulisansusansutardjo #susansutardjo