Pandangan Psikologi Behavioris Tentang Belajar dalam Perspektif Islam

By Susan Sutardjo et al

 

Bab I

Pendahuluan

Belajar merupakan kewajiban bagi setiap insan karena kehidupan itu sendiri merupakan proses pembelajaran. Tanpa belajar, seorang manusia tidak akan mampu bertahan dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam hidupnya. Belajar secara formal bagi manusia dimaksudkan untuk memperluas wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan derajat hidup, kemaslahatan umat, dan mendapat ridho Allah SWT seperti tertuang dalam QS Al Mujadalah: 11. Artinya “….niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang beriman dan berilmu.”

Dalam proses pembelajaran dikenal beragam teori belajar yang didasarkan pada pandangan psikologi termasuk di dalamnya psikologi behavioristik. Teori belajar behavioristik berpendapat bahwa perilaku manusia digerakkan oleh penghargaan (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan.

Prinsip reward dan reinforcement dalam teori belajar behavioristik tidak lepas dari klaim behaviorisme yang memandang pembelajaran sebagai mekanisme sebab akibat dengan mendatangkan faktor eksternal untuk mendapatkan respons yang berlangsung terus menerus dan respons tersebut menjadi perilaku yang dipelajari.

Dengan menggunakan reward, reinforcement atau punishment, misalnya memberikan pujian setiap siswa mengerjakan tugas dengan baik, diharapkan siswa termotivasi sukses dalam belajar. Karena pendekatan behavioristik percaya bahwa perubahan perilaku yang tampak dan permanen merupakan hasil dari pengaruh dari faktor eksternal seperti instruksi dan pengalaman. Misalnya pengalaman siswa mengerjakan tugas dengan baik akan mendapat pujian. Siswa menjadi rajin belajar sebagai hasil atau bentuk respon setelah mendapat pujian dari guru yang merupakan faktor eksternal. Faktor eksternal atau kejadian di di luar individu

Behavioristik lebih menekankan pada perilaku yang terlihat, sehingga pendekatan ini sedikit sekali memperhatikan faktor-faktor tidak terlihat seperti kognisi, emosi, atau kepercayaan diri pembelajar (Arthur-Kelly, Lyons, Butterfield&Gordon, 2006).

Penekanan pada perubahan karena faktor luar seperti reward atau punishment yang mendorong seorang siswa berubah lebih baik menurut sebagian kalangan bukan merupakan hasil dari kedewasaan individu. Hal lain yang menjadi sorotan adalah kaum behavioristik sering menggunakan hewan dalam percobaannya.

Sungguhpun demikian, prinsip belajar behavioristik berkontribusi dalam menciptakan perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Bahkan, Islam juga mengajarkan pemberian reward dan punishment yang menjadi faktor eksternal dalam behaviorisme. Seperti pujian rasulullah kepada para sahabat dan aturan hukuman dalam mendidik seorang anak.

 

Bab II

Literature Review

Psikologi adalaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku (John B. Watson). Menurut John Dewey psikologi adalah ilmu tentang aktivitas mental. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Clifford T Morgan, 1996).  Psikologi adalah ilmu yang mempelajari refleks (Pavlov).

Belajar berarti mengubah atau memperbaiki perilaku melalui latihan, pengalaman atau kontak dengan lingkungan (fisik dan sosial) yang relatif tidak berubah (Quinn, 1995: Feldman 2003, 2008). Belajar juga diartikan sebagai proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif (Skinner). Wittig (1981) mengartikan belajar sebagai perubahan tingkah laku suatu organisme yang terjadi relatif menetap sebagai hasil pengalaman.

Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon (E L Thorndike). Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan diukur. Sehingga belajar dapat didefinisikan sebagai proses memperbaiki perilaku melalui latihan, pengalaman, interaksi stimulus dan respon.

Menurut Feldman (2003) ada tiga hal utama yang harus dipahami dalam belajar yaitu 1) belajar adalah perubahan tingkah laku (yang buruk atau benar); 2) melalui seperangkat latihan dan pengalaman; 3) relatif permanen, tidak hanya muncul sesaat. Dari tiga hal utama ini ada tingkah laku yang terlihat seperti belajar misalnya gerak refleks berlari ketika dikejar anjing dan respons emosi seperti mencintai, menyayangi bukanlah sesuatu yang dipelajari individu tetapi otomatis dilakukan oleh tubuh (Quinn, 1995). 

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.

Bab III

Pembahasan

III A. Tokoh dan Konsep Behaviorisme

Behaviorisme mempelajari perilaku yang dapat diamati. Perilaku yang diamati merupakan respon atau tanggapan berulang atas sebuah stimulus atau rangsangan. Respon terhadap stimulus dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.

Beberapa ciri dari teori behaviorisme antara lain mengutamakan unsure atau bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mengutamakan pembentukan reaksi atau respons, dan menekankan pentingnya latihan.

Aliran behaviorisme berkembang dengan lahirnya teori belajar yang dikenalkan Pavlov, Watson, EL Thorndike, dan Skinner.  Di antara banyak teori belajar behavioristik, terdapat tiga teori yang sangat menonjol yaitu connectionism, classical conditioning (pembiasaan klasik), dan operant conditioning (pembiasaan perilaku respons). Namun, pendekatan connectionism dengan tokoh EL Thorndike masuk ke dalam operant conditioning seperti dalam buku Educational Psychology (Lee Krause K, et all, 2010). Di luar tiga mainstream ini, muncul teori baru yakni contiguous conditioning atau pembiasaan asosiasi dekat.

 

Classical Conditioning

Pengkondisian klasik pertama kali dikenalkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Proses penemuan teori ini tidak sengaja (Feldman, 2003). Pavlov tergugah secara tidak sengaja ketika memperhatikan anjing yang air liurnya menetes mendengar langkah kaki. Padahal menurut pemahaman Pavlov, air liur anjing keluar saat ada makanan. Ia kemudian menyimpulkan anjing tidak hanya merespons ketika lapar. Sehingga teori ini disebut sebagai classical conditioning (Feldman, 2003) yaitu prinsip belajar yang menggunakan pemasangan stimulus netral dan stimulus yang dikondisikan.

Pavlov kemudian melakukan percobaan pada seekor anjing dengan daging yang disebut unconditioned stimulus (US) yaitu stimulus yang menimbulkan respons tanpa dipelajari. Respon atas US ini disebut UR atau unconditioned respons yakni respons yang muncul tanpa dipelajari. Ia kemudian menyalakan lampu (stimulus netral) saat memunculkan daging. Air liur anjing keluar. Pavlov selanjutnya menyalakan lampu tanpa memunculkan daging dan anjing tetap mengeluarkan air liur.

Kesimpulan yang diperoleh adalah asosiasi pada classical conditioning merupakan hubungan yang memiliki makna antara satu stimulus dengan stimulus lainnya. Namun, hubungan ini ada jika stimulus netral yang dikaitkan dengan unconditioned stimulus.

Unconditioned stimulus and response. Unconditioned stimulus yaitu stimulus yang menimbulkan respons tanpa dipelajari. Unconditioned respons yaitu respons tak terkondisi tanpa harus dipelajari. Misalnya daging sebagai stimulus tak terkondisi dan air liur anjing sebagai respons tak terkondisi.

Conditioned stimulus and response. Stimulus terkondisi atau netral adalah stimulus yang perlu dipelajari. Response terkondisi atau respons netral adalah respon yang keluar setelah dipelajari. Misalnya lampu yang dikeluarkan tadinya bersamaan dengan sekerat daging kemudian dikeluarkan tanpa sekerat daging di depan anjing. Ternyata anjing tetap mengeluarkan air liur.

Discrimination, generalization, and extinction. Stimulus diskriminasi yang diajarkan Pavlov adalah menggeneralisasi respons yang dipelajari dengan mengajarkan anjing merespons bunyi garpu tala dengan jarak berbeda.  Pavlov mengenalkan stimulus dikondisikan dengan mengeluarkan bunyi garpu tala tanpa makanan. Ia mempelajari bahwa respons yang dipelajari (air liur) secara berangsur-angsur hilang dan melemah sebagai asosiasi antara dua kejadian (bunyi dan makanan). 

Tokoh Classical Conditioning

I.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Pavlov seorang peneliti fisiologi dari Rusia (Schwartz, 1986; Feldman, 2003). Pavlov belajar kimia dan fisiologi di University of St Petersburg. Ia menyelesaikan studi doktoralnya pada 1879. Tahun 1883 Pavlov menyelesaikan kuliah kedokteran di Imperial Medical Academy. Pavlov dikenal dengan percobaannya tentang hubungan air liur anjing dengan makanan dengan menggunakan lampu sebagai stimulus netral.

Hukum belajar menurut Ivan Pavlov yaitu:

Law of Respondent Conditioning (Pembiasaan). Jika dua stimulus dihadirkan secara simultan yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer maka refleks dan stimulus yang lainnya akan meningkat.

Law of Respondent Extinction (Pemusnahan). Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

II. John B. Watson (1878 – 1958)

Prinsip behavior Pavlov kemudian dikembangan oleh John B Watson. Watson seorang psikolog Amerika yang mengenalkan behaviorisme ke dalam psikologi Amerika Serikat. John Watson lahir pada tahun 1878 dan meninggal tahun 1958. Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago.

Minat awal Watson adalah belajar filsafat, sebelum beralih ke psikologi. Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan. Tahun 1903 ia menyelesaikan disertasinya. Tahun 1908 ia pindah ke John Hopkins University dan menjadi direktur laboratorium Psikologi di sana. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang dikenal sebagai ‘behaviorist’s manifesto’, yaitu “Psychology as the Behaviorists Views it”.

Watson disebut sebagai seorang behavioris murni. Kajiannya tentang belajar disamakan dengan ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada pengalaman empirik yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Menurut Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan diukur. Jadi perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.

Watson tidak mempercayai unsur hereditas (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.  Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik yaitu perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.

Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Menurutnya yang lebih penting adalah proses adaptasi, gerakan otot-otot, dan aktivitas kelenjar. Ia mementingkan perilaku terbuka yang mudah diamati dan diukur.  

Operant Conditioning

Pengkondisian operan merupakan teknik pembentukan tingkah laku yang menggunakan reinforce atau penguatan untuk menimbulkan respon yang diinginkan. Prinsipnya setiap stimulus mungkin akan menghasilkan beberapa respons.

Untuk mendapatkan respons yang diinginkan, maka hanya respons-respons tertentu yang diperkuat dengan reinforcement. Atau ketika muncul respons yang tidak diinginkan, maka respons tersebut dilemahkan dan akhirnya menjadi respons yang dipelajari. Sehingga pengkondisian operan adalah respons alami yang diperkuat atau dilemahkan, tergantung kondisi yang diterima atau ditolak (Feldman, 2003).

Eksperimen terkenal dalam operant conditioning adalah percobaan BF Skinner pada tikus dan perlengkapan berupa kandang. Skinner memasukkan seekor tikus ke dalam kandang. Ketika lapar, tikus bisa mengambil makanan sendiri dari jendela yang ada. Namun, kotak berisi makanan kadang kosong. Ketika ia membuka jendela dan kotak makanan kosong, tikus menerima kejutan listrik di kakinya. Jika ia membuka jendela dan di dalam kotak ada makanan, bel berbunyi atau lampu menyala. Lama kelamaan, tikus itu hanya mau mengambil makanan kalau bel berbunyi atau lampu menyala. Tikus itu belajar membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya.

Hasil eksperimen Skinner membuktikan bahwa dalam membentuk suatu perilaku bisa menggunakan reward (reinforcement positif), dan punishment (reinforcment negatif). Skinner beranggapan bahwa hukuman dalam jangka waktu panjang tidak akan mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya dibandingkan segi positif. Karena itu, untuk membentuk suatu perilaku yang diharapkan, ia menyarankan agar lebih banyak menggunakan reward dibanding punishment.

Tokoh Operant Conditioning

I.Burhus Frederic Skinner (1904–1990)

BF Skinner seorang penganut behaviorisme berkebangsaan Amerika. Dalam buku About Behaviorism (1974) Skinner mengungkapkan bahwa tingkah laku terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri.

Skinner menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut dia hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) melalui interaksi dengan lingkungannya, yang menimbulkan perubahan tingkah laku, tidak sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurut Skinner respon yang diterima seseorang tidak sederhana karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berhubungan. Interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon ini memiliki konsekuensi yang akan  mempengaruhi munculnya perilaku.

Dalam memahami tingkah laku seseorang, harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah karena memerlukan penjelasan lagi.

Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin.

Prinsip belajar Skinners antara lain a.Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. c. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. d. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. e. Dalam pembelajaran digunakan shapping.

II. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)

Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan.  Teori Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme.

Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :

a.The Law of Effect (Hukum Akibat). Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

b. The Law of Exercise (Hukum Latihan). Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal: 1) The Law of Use : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu. 2) The Law of Disue : hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan hubungan tersebut.

c. The Law of Readiness (Hukum Kesiapan) Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Connectionism

Teori koneksionisme dikenalkan dan dikembangkan oleh Edward L Thorndike. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan

Contiguous Conditioning

Penjelasan behavioral atau hal yang berhubungan dengan perilaku manusia dalam pembelajaran terkait dengan prinsip dasar yakni mekanisme sebab akibat. Sebab akibat bisa terjadi karena orang membuat asosiasi atau koneksi antara satu hal dengan hal lain yang diperoleh dari pengalaman. Misalnya mengasosiasikan angka dua dengan bebek atau angka empat dengan kursi. Pandangan behavioris yang mengacu pada asosiasi disebut sebagai contiguity atau kedekatan asosiasi antar stimulus respons.

Contiguity berasumsi bahwa dua kejadian atau sensasi yang terjadi pada waktu sama akan membentuk sebuah asosiasi. Contiguity menggunakan prinsip sederhana yang bisa digunakan oleh siswa dalam membangun asosiasi antara stimulus khusus seperti obyek, kejadian, sensasi sering terjadi pada saat bersamaan.

Contiguity atau contiguous conditioning (pembiasaan asosiasi dekat) merupakan teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respons yang relevan.

Tokoh Contiguity

Edwin Guthrie

Guthrie menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.

Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, sehingga dalam kegiatan belajar peserta didik perlu diberi stimulus dengan sering agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

III B. Implementasi dalam Pendidikan

Teori operant conditioning lebih sering diterapkan dalam dunia pendidikan. Pendidik menggunakan pendekatan ini untuk menguatkan tingkah laku yang diinginkan dan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan. Jika ada perilaku yang kurang, pemberian punishment dimungkinkan dan ini tidak terjadi pada pengkondisian klasik.

Teori Skinner juga paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar Skinner.

Kritik Implementasi Behavioristik dalam Pendidikan

Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) kepada orang yang belajar atau pembelajar.

Fungsi pikiran dalam teori behavioristik adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implementasi  teori behavioristik dalam proses pembelajaran dinilai kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa  kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Teori behavioristik memandang  pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa harus mengikuti aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku  harus diberi hadiah (reward).

Ketaatan pada aturan dilihat sebagai penentu keberhasilan belajar berdampak pada siswa . adalah objek yang harus  berperilaku sesuai dengan aturan. Kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan  pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.

Penyajian isi atau materi pelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut.

Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar sesuai dengan keinginan guru. Hal ini menurut teori behavioristik menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

III C. Belajar Behavioris dalam Perspektif Islam

Faktor luar dalam teori behavioristik seperti punishment dan reward terdapat dalam Al Qur’an. Punishment (hukuman) dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘iqab. Al-Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20 kali dalam 11 surat. Kata ‘iqab mayoritas didahului oleh
kata syadiid (yang paling, amat, dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan arti keburukan dan azab yang menyedihkan, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 11 dan al-Anfal: 13. Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ‘iqab ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia.

Jika ‘iqab dihubungkan dengan pendidikan Islam, maka ‘iqab diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan;  2) balasan dari perbuatan buruk yang dilakukan siswa

Selain kata tsawab dan ‘iqob, Al-Quran juga menggunakan kata targhib dan tarhib. Perbedaannya, kalau tsawab dan ‘iqob lebih berkonotasi pada bentuk aktivitas dalam memberikan ganjaran dan hukuman seperti memuji dan memukul, sedangkan kata targhib dan tarhib lebih berhubungan dengan janji atau harapan untuk mendapatkan kesenangan jika melakukan suatu kebajikan atau ancaman untuk mendapatkan siksaan kalau melakukan perbuatan tercela.

Ajaran islam memberikan penjelasan tentang teknik penerapan reward dan punishment dalam upaya pembentukan perilaku. Reward berupa pujian kata-kata dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah memberikan pujian kepada Mua’adz ketika ia bertanya tentang perbuatan apa yang bisa memasukannya ke dalam surga.

Kala itu Rosululloh menjawab dengan jawaban: Bakhin, bakhin (bagus, bagus) sungguh pertanyaan yang agung. Setelah itu Rosululloh menjawab pertanyaannya. Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Rosululloh menjawab pertanyaan Abu Hurairoh tentang orang yang paling beruntung ketika mendapat syafaat Rosul di hari akhir nanti. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut Rosululloh mengatakan: Sudah saya duga, tidak aka nada orang yang bertanya tentang masalah ini selain dirimu.

Berbagai teknik pemberian reward dalam ajaran Islam antara lain:

  1. Menggunakan ungkapan kata. Penggunaan teknik ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husein yang menunggangi punggungnya seraya beliau berkata, “Sebaik-baik unta adalah unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian.” Guru hendaknya memberi ganjaran atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik perhatian siswa. Ganjaran-ganjaran yang diberikan terhadap suatu perbuatan baik akan menjadi penguatan siswa terus berbuat baik.
  1. Memberi hadiah. Cara ini bukan hanya untuk menunjukkan perasaan      cinta, tetapi juga dapat menarik cinta siswa. Rasulullah telah mengajarkan      hal tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian      niscaya kalian saling mencintai.” Guru hendaknya mengetahui apa yang disukai      dan diharapkan oleh siswanya. Sehingga hadiah yang diberikan kepada siswa tidak sama sesuai      dengan kondisi dan keadaan siswanya. Hadiah yang diberikan ebisa mungkin mendukung aktivitas belajar siswa.
  2. Memberikan      senyuman atau tepukan. Senyuman merupakan sedekah sebagaimana dikatakan      oleh Rasulullah SAW: “Senyumanmu terhadap      saudaramu adalah sedekah.” Senyuman mempunyai pengaruh yang sangat      kuat. Ketika      berbicara dengan murid hendaknya seorang guru tersenyum. Demikian      juga dengan tepukan tangan, misalnya seorang guru menepuk-nepuk pundak      siswanya ketika siswa tersebut mampu mengerjakan pekerjaan rumah dengan      baik.
  3. Membagi      pandangan secara      merata kepada seluruh siswa. Sehingga      siswa merasa dihargai.

Hukuman sebagai salah satu metode pendidikan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti siswa baik secara fisik maupun psikis. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan siswa dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Pemberian hukuman harus dimulai dari tindakan sebelumnya yang dimulai dari teguran langsung, sindiran, melalui celaan, dan melalui pukulan. Dalam memberikan hukuman, setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman. Pertama, pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, dan kasih sayang. Kedua, harus didasarkan pada alasan keharusan. Ketiga, harus menimbulkan kesan di hati anak. Keempat, harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. Kelima, harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.

Rasulullah SAW memberikan contoh dalam menjatuhkan hukuman pada anak yang bisa diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar.

  1. Menegur      langsung. Umar bin Abi Salmah r.a. berkata, “Dulu aku menjadi pembantu di      rumah Rasulullah. ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke      berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, ‘Hai ghulam, bacalah      basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di      dekatmu.”
  2. Memukul. Ajaran Islam membolehkan pada pendidik memukul sebagai salah satu bentuk      punishment dalam praktik pendidikan. Namun demikian, terdapat beberapa      aturan yang mampu melindungi anak dari efek negitif yang mungkin di      timbulkan.

Diantara persyaratan yang membolehkan memukul diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Jangan terlalu cepat memukul anak, jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, anak harus diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatannya; 2) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi dan tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah yang menyatakan, Jangan marah!;

3) Pukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau muka. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah, Jika salah seorang dari kamu memukul, maka jauhilah muka. Pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh.

Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan kesepuluh. Hal itu mengacu pada sabda Rasulullah, Tidak mendera di atas sepuluh deraan kecuali dalam hukuman pelanggaran maksiat (hudud);

4) Hukuman harus dilakukan oleh pendidik sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan. Seorang pendidik harus  menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung ketika siswa melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan, apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini tidak berdampak pada perbaikan.

5) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia lidak boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.

Bab VI

Kesimpulan

Islam sebagai ajaran agama membolehkan pendidik menggunakan prinsip behavioristik sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga implementasi pendekatan behavioristik tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam.

 

Bibliografi

Suralaga, Fadhilah, dkk (2005). Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Jakarta:UIN Jakarta Press.

Krause, Kerri Lee et all (2010). Educational Psychology for Learning and Teaching.Australia: Cengage Learning.

Sukmadinata, Nana Saodih (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sarwono, Sarlito W (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press.

Syah, Muhibbin (2011). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press.

https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm

http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-Behaviorism.html

Behaviorism

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

http://walmah.wordpress.com/

http://www.uin-malang.ac.id

Photo by Jeffrey Czum on Pexels.com

Tinggalkan komentar