Kunci Tidak Kecewa : Jangan Berekspektasi


Ekspektasi, menjadi salah satu sumber kekecewaan dalam hidup. Orang yang tadinya senang berubah menjadi kecewa, karena kenyataan yang ada, atau hasil yang diinginkan, tak sesuai dengan ekspektasinya.

Pernah dalam sebuah meeting, ada bos dari Jakarta yang bertamu ke salah satu daerah di Jawa Tengah (Jateng). Bos dari Jakarta ini berekspektasi dia akan dijemlut dari airport menggunakan mobil paling rendah Inno*a.

Di luar dugaan, ia dijemput dengan mobil sejuta umat. Karena memang panitia acara hanya punya mobil tersebut. Nyatanya si bos tersinggung. Ia menganggap panitia tidak menghormatinya dengan menyediakan mobil jemputan sejuta umat.

Peristiwa dijemput mobil sejuta umat sangat merisaukan hati si bos. Bahkan, setelah acara tersebut, ia masih kecewa dengan penjemputan dirinya dengan mobil sejuta umat.

Si bos kecewa dan akhirnya mempengaruhi relasi beliau dengan pihak penyelenggara di daerah, sejatinya disebabkan oleh ekspektasi beliau soal standar penghormatan kepada beliau.

Jika dari awal bos tersebut tidak berekspektasi soal kendaraan jemputan, toh tiap hari beliau juga naik mobil bagus, masalah,atau kekecewaan tidak akan muncul.

Pelajaran moralnya adalah, jika hidupmu sudah banyak masalah, jangan tambah masalah lagi dengan memunculkan ekspektasi yang pada akhirnya membuat dirimu kecewa.

Kunci Bahagia Cuma Ini Ternyata


Setiap manusia, pasti ingin bahagia. Tapi, tidak semua manusia merasakannya. Sebagian mengira, bahagia akan mendekat, jika dirinya berlimpah harta. Sebagian lagi mengira bahagia akan menetap jika hidupnya lengkap : bekerja, punya pasangan hidup, punya anak, punya rumah, punya kendaraan. Sebagian lagi mengira, ia bahagia jika punya kekuasaan yang mendatangkan segan dan penghormatan.

Ada juga yang berpikir dirinya bahagia jika sudah terkenal, populer, teman-teman ya dari kalangan seleb atau high class.

Ternyata, ketika manusia mencapai kategori kaya sesuai standarnya, di luar dugaan. Dirinya tetap tidak bahagia. Ia kemudian mencari-cari lagi hak di luar dirinya yang ia kira nantinya akan bikin ia bahagia.

Padahal…bahagia itu kuncinya ada pada diri manusia itu sendiri. Bukan faktor-faktor eksternal kepantasan sesuai kesepakatan komunal.

Menurut KH Husein Ilyas dari Mojokerto, resep bahagia ada tiga. 1) Al Sofa yakni membersihkan hati. Karena orang lain tidak bisa membersihkan hati kita.
2) Al wafa yakni tidak mengingkari ucapan sendiri. 3) Al Jafa yakni dicaci dan dipuji sama saja.

Intinya, bahagia itu dari hati, jiwa kita. Bukan dari pemenuhan faktor eksternal yang lekat dengan materi, nafsu, dan pengakuan.

Cyberbullying: Realitas Sosial di Era Digital?


Jika kita mendengar kata cyber, maka akan terasosiasi dengan jagad online. So, cyberbullying merupakan bullying yang terjadi melalui media internet dan ponsel. Apakah cyberbullying ini umum terjadi di negara-negara maju yang penduduknya akrab dengan internet dan ponsel? Nope! Dahulu, sekitar awal tahun 2000-an, menurut riset yang dilakukan Smith, cyberbullying memang dimonopoli negara-negara maju seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia.

Seiring meningkatnya penggunaan handphone di kalangan remaja bukan hanya di Amerika, maka cyberbullying pun mulai merambah di negara Asia seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Nggak percaya? Yuk kita buktikan.

Lembaga riset global Ispsos bekerjasama dengan Reuters menyelenggarakan riset cyberbullying yang dirilis Januari 2012 dengan melibatkan responden di 24 negara. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadinya cyberbullying, 44% menyebut website lain. Cyberbullying melalui surat elektronik atau e-mail merupakan kasus yang dianggap paling jarang terjadi di Indonesia (SalingSilang.com, 18 Januari 2012).

Cyberbullying di Indonesia berdasarkan survey Ipsos cukup tinggi. Satu dari delapan anak di Indonesia pernah mengalami penghinaan dan ancaman di dunia maya. Sekitar 55 persen orang tua di Indonesia yang menjadi responden menyatakan mereka mengetahui seorang anak mengalami cyberbullying (Kompas, 23 Januari 2012).

Di Malaysia sejak Oktober 2007 hingga Januari 2010 terdapat 60 kasus cyberbullying. Sedangkan di Singapura pada kurun waktu yang hampir sama terdapat 80 kasus cyberbullying (Reader Digest Asia, 15 Januari 2010). Tahun 2012 Microsoft mengadakan riset yang melibatkan 3 .000 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 1.900 siswa Sekolah Dasar (SD). Hasilnya prevalensi cyberbullying di Singapura sebesar 58 persen atau terbesar kedua di dunia.

Berdasarkan Wired Safety kasus cyberbullying di Singapura meningkat drastis pada tahun 2013. Meskipun posisi Singapura tetap di urutan kedua di dunia di bawah Amerika Serikat (nobullying.com). Tahun 2014 satu dari empat siswa SMP di Singapura dilaporkan menjadi korban cyberbullying oleh teman sebaya (peer).
Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006 prevalensi cyberbullying di Indonesia 25 juta. Korban cyberbullying sebagian dihina, diabaikan, digosipkan di dunia maya. Beradasarkan penelitian BPS ini cyberbullying di Indonesia paling sering terjadi melalui modalitas jejaring sosial seperti facebook. Sebanyak 74% responden menyatakan facebook sebagai modalitas cyberbullying sedangkan 44% menyatakan media website sebagai modalitas cyberbullying. Sebagian besar responden menyatakan cyberbullying terjadi melalui ponsel.

Pada tahun 2011 prevalensi cyberbullying di Indonesia cukup tinggi. Hal itu dibuktikan dengan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh lembaga Ipsos. Dari riset Ipsos diketahui bahwa satu dari delapan anak di Indonesia pernah mengalami penghinaan dan ancaman di dunia maya. Sekitar 55 persen orang tua di Indonesia yang menjadi responden menyatakan mereka mengetahui seorang anak mengalami cyberbullying (Kompas, 23 Januari 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Unicef pada tahun 2011 hingga 2013, sebagian besar remaja di Indonesia telah menjadi korban cyberbullying. Studi melibatkan 400 anak dan remaja di 11 provinsi dengan rentang usia 10 hingga 19 tahun.
Hasil dari studi Kominfo dan Unicef yang dirilis Februari 2014 tersebut adalah 80 persen remaja mengunakan internet. Sebanyak 69 persen mengakses internet melalui komputer 34 persen menggunakan laptop dan 52 persen menggunakan smart phone. Menurut riset Roy Morgan, kepemilikan smartphone di Indonesia meningkat dua kali lipat pada tahun 2012 dan 2013 menjadi 24 persen.

Dari penelitian Keminfo dan Unicef juga terungkap bahwa sembilan dari sepuluh siswa atau 89 persen responden berkomunikasi secara online dengan teman-teman mereka, 52 persen berkomunikasi online dengan keluarga, dan 35 persen berkomunikasi secara online dengan guru mereka. Sebanyak 13 persen responden mengaku menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman.

Tingginya angka cyberbullying di Indonesia dipengaruhi oleh penggunaan internet yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Kementerian Informasi Komunikasi dan Informatika jumlah penguna internet di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persen menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Jejaring sosial yang diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menjadi pengguna Facebook nomor 4 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India. Indonesia juga menempati peringkat 5 besar pengguna Twitter di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, Jepang, dan Inggris. Tingginya pengguna jejaring sosial di Indonesia menjadi jawaban modalitas cyberbullying di tanah air sebagian besar melalui jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

Nah, dengan tingginya angka prevalensi cyberbullying di tanah air, masih menganggap cyberbullying sesuatu yang asing, sesuatu yang jauh dari realitas sosial kita? Tidak! Cyberbullying telah ada dalam realitas sosial kita. Tugas kita adalah melakukan langkah preventif dan kuratif terkait dengan fenomena sosial ini. Tentunya langkah-langkah itu bisa dilakukan melalui riset di perguruan tinggi baik menggunakan metode penelitian kuantitatif yang berfungsi sebagai pencegahan, dan metode kualitatif yang bertujuan untuk melakukan koreksi atas fenomena sosial ini dan mengkonstruksinya menjadi keadaan yang lebih baik.

Photo taken from google.com

Photo taken from google.com

mereka mengetahui seorang anak mengalami cyberbullying (Kompas, 23 Januari 2012).

#susansutardjo #tulisansusansutardjo

Nih Ya Analisa Faktor (1)


Kepo Yuk dengan Analisa Faktor (1)

Apa sih analisa faktor?Yang pasti bukan analisa faktor usia.Nanti berhubungan dengan hal sensitif.Analisa faktor merupakan analisa multivariat untuk mengungkapkan struktur dari suatu matriks kovarium atau korelasi. Untuk memahami analisa faktor harus tahu analisa regresi. Analisa ini dalam bentuk tradisional umumnya menganalisa matriks korelasi. Misalnya korelasi tinggi badan dengan kecerdasan pada anak-anak.Metode analisa faktor pertama kali dikemukakan oleh Spearman (1904) .

Nah, apa saja yang diperlukan dalam memahami analisa faktor? Minimal tahu statistik dasar. Ada beberapa istilah yang harus diketahui.
1.Ukuran sentralitas.
2 Ukuran variabilitas.
Varian
Variabel
3.Covarians/kovariasi

Langkah analisa faktor:
1.Menentukan banyaknya faktor yang mendasari hubungan antarvariabel.
2.Mencari hubungan antar faktor,tinggi rendah hubungan antar faktor untuk membuat struktur sederhana yang bisa dimengerti dengan melakukan rotasi faktor.
3.Memberi label atau nama

Review Kapita Selekta Pendidikan By Susan Sutardjo A.Summary


Review

Kapita Selekta Pendidikan

By Susan Sutardjo

A.Summary

I.Overview Psikologi Pendidikan

Pendidikan berkualitas didukung oleh input, proses yang baik sehingga menghasilkan output seperti yang diharapkan. Input berupa instrumen seperti gedung sekolah, media, alat bantu, referensi, peserta didik, guru, kepala sekolah, pegawai, dan kurikulum. Proses pendidikan berupa kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Output yakni outcome yang kualitasnya dipengaruhi quality assurance yakni jaminan model. Ujian nasional menjadi quality control sebuah pendidikan. Meskipun, seharusnya pendidikan tidak hanya berorientasi angka-angka di atas kertas seperti ujian nasional. Karena dalam pendidikan menghasilkan output dan outcome berupa tangible dan intangible. Sedangkan kontrol pendidikan dilakukan oleh guru dan lembaga mandiri.

Esensi pendidikan adalah adanya value added atau nilai tambah. Pendidikan harus memberi nilai tambah baik bagi pendidik maupun peserta didik. Pendidikan juga harus memberikan insight bagi peserta didik. Sehingga untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, seluruh komponen yang terlibat di dalamnya dan stakeholder harus memahami kebutuhan dalam pendidikan yang memberikan value added.

II.Sistem Pendidikan Nasional dan Teori Psikologi Pembelajaran

Menurut Bloom ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pendidikan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan tidak hanya berupa cara berpikir saja, tetapi bagaimana afeksi terbentuk, berperilaku, dan team work. Kerja tim ini terbentuk dalam pengalaman pendidikan.

Jika diartikan secara sempit dan spesifik pendidikan proses formal dalam mentransmisikan budaya sosial dari satu generasi ke generasi lain. Karena pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Budaya menurut Daud Joesoef diartikan secara luas. Budaya yang diadopsi dari Timur Tengah adalah peradaban. Membuat seseorang lebih beradab. Hal yang ditransmisikan dari generasi ke generasi berupa akumulasi dari tata nilai, cutom (adat istiadat), dari generasi satu ke generasi lainnya. Misalnya sopan santun di jalan.

Pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat madani dengan menerima sesuatu yang baru melalui perubahan cara berpikir dan bersikap mental. Karena masyarakat madani (civil society) bisa terbentuk melalui pendidikan. Dengan pendidikan ini masyarakat bisa bersikap dan berperilaku secara ilmiah.

Menurut Stephen Hawking penemu teori big bang, tahap perkembangan dunia ada empat. Pertama, tradisional ditandai dengan adanya masyarakat agraris (pertanian). Kedua, modern (mekanisasi) misalnya mengolah sawah dengan traktor. Ketiga, era information communication technology (ICT) atau teknologi informasi komunikasi (TIK). Keempat, knowledge society (masyarakat madani). Masyarakat yang menguasai TIK akan menguasai dunia.

III.Pengembangan Multiple Inteligence pada Anak Usia Dini

Tahapan perkembangan anak usia dini dibagi menjadi tiga. Pertama, sejak lahir sampai usia 3 thn, anak memiliki sensoris dan daya pikir yg sudah mulai dpt “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya. Kedua, usia satu setengah thn sampai kira-kira 3 thn, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat utk mengembangkan bahasanya (berbicara bercakap-cakap). Ketiga, masa usia 2 – 4 thn, gerakan-gerakan otot mulai dpt dikoordinasi dgn baik, utk berjalan maupun utk banyak bergerak yg semi rutin dan yg rutin, berminat pd benda-benda kecil dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).

Rentang usia 3 – 6 thn, terjadi kepekaan utk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan inderawi, khusus pd usia sekitar 3 – 4 thn memiliki kepekaan menulis dan pd usia 4 – 6 thn memiliki kepekaan yg bagus utk membaca

Pengembangan multiple intelligence pada anak usia dini untuk pembelajaran linguistik atau verbal dengan memberikan stimulus sesuai usia. Untuk usia tiga tahun misalnya dengan stimuli berupa menuliskan nama sendiri, mengucapkan syair dan menyanyikan lagu berirama, duduk tenang ketika dibacakan cerita, berbicara di depan kelompok, perbendaharaan kata baru, bercerita sambil melakukan pekerjaan, mengucapkan kata-kata dan menyanyikan lagu-lagu.

Untuk usia 4 tahun bisa melakukan aktivitas seperti bercerita kejadian sesungguhnya juga cerita imajinatif , menyanyi dgn mengubah kata-kata mereka sendiri, menulis beberapa huruf, diskusi kelompok, membacakan buku dan menentukan buku kesukaannya.

Pada usia 5 tahun stimuli yang diberikan bisa berupa mengenal huruf dan dpt mengeja beberapa suku kata terutama namanya sendiri, menceritakan kembali scr verbal cerita yg didengarnya, menebak isi cerita berikutnya dgn melihat gambar, menunggu giliran dan ikut berdiskusi.

Pembelajaran logis matematik bisa pada anak usia 3 tahun dengan memberikan stimuli antara lain  mengenal persamaan dan perbedaan benda, mengenal perbedaan tempat ; atas-bawah, dekat-jauh, mengenal lingkungan sekitarnya ; tanaman, binatang, keluarga, menghitung benda.

Pada anak usia 4 tahun, stimuli yang diberikan seperti mengenal kategorisasi (memilih dan mengelompokkan), mengenal urutan, menghitung benda, mengenal sebab akibat, mengenal perbandingan (lebih banyak atau lebih sedikit).

Untuk anak usia 5 tahun stimuli yang diberikan berupa  memilih dan mengelompokkan dua kategori (warna dan ukuran), menghitung benda,  menulis angka, mengenal perbandingan ukuran dan jumlah, dapat memperkirakan dan mengukur, dapat menggunakan pikiran utk menyelesaikan masalah.

Pembelajaran viso-spasial untuk anak usia dini pada umur 3 tahun berupa mengenalkan benda, dua dimensi, mengenalkan warna, bentuk bulat, segitiga dsb , mengenalkan atas-bawah, dekat-jauh, mengenalkan arah.

Untuk usia 4 tahun stimuli yang diberikan bisa dengan mengenalkan kategorisasi (memilih dan mengelompokkan bentuk), mengenal urutan berdasarkan dekat-jauh, menggambar bulatan, memberi warna gambar, main catur, kelereng.

Pada anak usia 5 tahun dengan memberikan stimuli memilih dan mengelompokkan dua kategori (warna dan bentuk 3 dimensi kubus, piramid, kerucut), menggambar benda, melukis alam sekitar, main catur dgn keadaan tertentu, dapat memperkirakan dan mengukur jarak, dan dalamnya suatu tempat, mengenal mata angin.

IV.Pendidikan Remaja (Karakteristik, Kebutuhan Pokok dan Pendekatan dalam Pendidikan Remaja)

Dalam tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi awal dan akhir. Konsep “remaja” merupakan konsep yang relatif baru, yang muncul kira-kira setelah era industri merata di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya.

Menurut WHO, remaja adalah suatu masa perkembangan individu dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual; mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Secara biologis masa pubertas merupakan masa dimana hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). 

Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone merangsang pertumbuhan testosterone.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik adalah sebagai berikut yaitu pengaruh keluarga, pengaruh gizi, gangguan emosional, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kesehatan, pengaruh bentuk tubuh.

Kelainan dan gangguan seksual pada masa remaja berupa gangguan identitas jenis, parafilia, disfungsi psikoseksual, gangguan psikoseksual lainnya.

Pemikiran remaja semakin abstrak, logis, dan idealistis; lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka; serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial. Pandangan Piaget tentang pemikiran masa remaja berupa pengambilan keputusan, kognisi sosial, pemikiran operasional formal.

Remaja akhir atau dewasa awal menurut Hurlock (1980:265) merupakan individu yang telah berkembang sepenuhnya dan sudah siap untuk mengambil tempat mereka di masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

Menurut Anderson kematangan seseorang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego, mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efisien, dapat mengendalikan perasaan pribadinya, mempunyai sikap yang objektif, menerima kritik dan saran, bertanggung jawab, dan dapat menyesuaikan keadaan-keadaan yang realistis dan baru.

Transisi dari masa remaja ke dewasa meliputi fase 1) masa muda merupakan periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, serta perjuangan antara ketertarikkann pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. 2) Kriteria untuk masa dewasa  meliputi dua kriteria  yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam mengambil keputusan. 3) Kontinuitas dan perubahan

Perkembangan kognitif menurut Labouvie-Vief bahwa orang dewasa muda memasuki fase pemikiran yang pragmatis. Perry berteori bahwa bersamaan dengan individu memasuki masa dewasa, pemikiran mereka lebih realativistk. Schaie mengajukan urutan fase-fase kognitif antara lain :1) pengambilalihan dari pemikirann dualistik ke arah pemikiran beragam (kebenaran adalah relatif). 2) Pencapaian prestasi : fase yang terjadi dibagian awal masa dewasa yang melibatkan penerapan inteletualitas pada situasi yag memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan penngetahuan.

V.Pendidikan Moral Remaja

Karakteristik Moral Remaja Awal  menurut Kohlberg dapat dibagai sebagai berikut. 1) Tingkat prakonvensional berupa tahap orientasi dan kepatuhan, orientasi relativis-instrumental. 2) Tingkat konvensional berupa tahap orientasi kesepakatan antarpribadi atau orientasi, tahap orientasi hukuman dan ketertiban. 3) Tingkat pasca-konvensional (otonom/berlandaskan prinsip) yakni tahap orientasi kontak sosial legalitas, tahap orientasi prinsip etika universal

Dalam perkembangan sosial remaja terlihat adanya dua macam gerak, yaitu : memisahkan diri dengan orang tua dan mendekatkan diri dengan teman-teman sebayanya. Dalam tahap ke-5 teori perkembangan Erikson menyatakan bahwa anak remaja berada pada tahapan ”identity vs identity confusion.”

Philip Graham membagi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial remaja ke dalam dua golongan yaitu: 1) faktor lingkungan berupa kekurangan gizi, kemiskinan di kota-kota besar, gangguan lingkungan, migrasi, keluarga yang tercerai berai. 2) faktor pribadi berupa faktor bakat yang mempengaruhi tempramen, cacat tubuh, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.

VI.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Kaufman dan Hallahan (1991, 2006) anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang berbeda dengan anak lain, secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yg penting dari fungsi kemanusiaannya, secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan/kebutuhan & potensinya secara maksimal, dan membutuhkan pendidikan khusus & pelayanan tertentu

Siswa berkebutuhan khusus diklasifikasikan sebagai berikut anak berbakat, tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, gangguan kesehatan, autism, GPP (ADHD), dan kesulitan belajar  seperti  membaca, berhitung, menulis.

Menurut Linch Lewis (1988) ABK diklasifikasikan berkesulitan belajar, gangguan wicara, retardasi mental, gangguan emosi, gangguan fisik dan kesehatan, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, tunaganda.

Sedangkan Ashman & Elkins (1994) menggolongkan ABK ke dalam gangguan komunikasi , berkesulitan belajar, gangguan emosi dan perilaku, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan intelektual, gangguan fisik .

Undang-undang nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Bab IV, pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 sudah mengakomodasi beragam jenis anak berkebutuhan khusus (ABK) kecuali indigo.

Program yang bisa diberikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) ini berupa program kompensatoris dengan orientasi mobilitas, memanfaatkan sisa pendengaran dan bahasa yang dimengerti. Misalnya dengan menggunakan bahasa isyarat dalam dunia pendidikan inklusif di sekolah regular.

Di Indonesia sejarah pendidikan luar biasa bagi ABK dimulai pada tahun 1901 berupa pendirian SLB A Wiyata Guna. Kemudian pada 1927 Folker merintis pendidikan bagi anak tuna grahita, dsb.

Layanan khusus pendidikan bagi ABK antara lain program khusus sesuai dengan jenis kekhususannya, media pembelajaran yang sesuai, program individual untuk pembelajaran, prasarana yang mendukung, bimbingan dan konseling, layanan pendukung, program perbaikan, dan program pengayaan atau percepatan.

Autis

Gangguan perkembangan berat yang mempengaruhi cara anak dalam berkomunikasi dan berelasi dg orang lain. Dimulai dalam 3 tahun pertama kehidupannya terus berlanjut selama hidupnya bila tidak diintervensi. Terjadi gangguan pada pusat-pusat di otak (pusat bicara, belajar, emosi, perhatian, dll). Interaksi sosial ganguannya berupa menghindar atau tidak mau bertatap muka (kontak mata), Tidak mau bermain dengan anak sebaya, kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik, terlihat aneh dan berbeda dg orang lain. Minat terbatas seperti minat berlebihan pada suatu benda, tidak mau diubah rutinitasnya, terpukau atau terpaku pada bagian-bagian benda.

Perilaku autisme yang berkelebihan (excess) seperti stimulasi diri, self-injury, tantrum, agresif. Berkekurangan  misalnya  tidak atau belum bicara, tidak bisa bermain, tidak ada kontak sosial, disangka tuli.

Problem anak autis antara lain problem control yaitu sulit mengontrol diri, problem toleransi yakni peka terhadap stimuli dan muatan emosi, problem koneksi dengan kecenderungan gampang terganggu, sulit fokus,

Gaya belajar anak autis antara lain rote learner dengan cenderung menghafal, visual learner dengan melihat buku dan menonton televisi, hands on learner yakni belajar dengan mencoba-coba, mendapatkan pengetahuan dari pengalaman, auditory learner yakni gaya belajar anak yang senang berbicara dan mendengarkan orang lain bicara.

VII.Pendidikan Anak Berbakat (Gifted and Talented)

Keberbakatan (giftedness) berhubungan dengan kecerdasan di atas rata-rata. Misalnya anak memiliki IQ di atas 130. Atau anak tersebut mempunyai bakat unggul di beberapa bidang, seperti seni, musik, atau matematika. Program anak berbakat di sekolah dulunya didasarkan pada kecerdasan dan prestasi akademik. Namun, kriteria ini kemudian diperluas dengan memasukkan kreativitas dan komitmen (Renzulli & Reis, 1997).

 

Meski ada item tambahan, definisi berbakat lebih cenderung pada IQ di atas rata-rata untuk menentukan apakah seorang anak berbakat atau tidak. Seiring dengan perkembangan ilmu, banyak yang memasukkan multiple inteligence (kecerdasan majemuk) dari Gardner dan di masa mendatang kemungkinan kriterianya tidak lagi mencakup IQ (Davidson, 2000).

Keberbakatan (giftedness) berhubungan dengan kecerdasan di atas rata-rata. Misalnya anak memiliki IQ di atas 130. Atau anak tersebut mempunyai bakat unggul di beberapa bidang, seperti seni, musik, atau matematika. Program anak berbakat di sekolah dulunya didasarkan pada kecerdasan dan prestasi akademik. Namun, kriteria ini kemudian diperluas dengan memasukkan kreativitas dan komitmen (Renzulli & Reis, 1997).

 

Meski ada item tambahan, definisi berbakat lebih cenderung pada IQ di atas rata-rata untuk menentukan apakah seorang anak berbakat atau tidak. Seiring dengan perkembangan ilmu, banyak yang memasukkan multiple inteligence (kecerdasan majemuk) dari Gardner dan di masa mendatang kemungkinan kriterianya tidak lagi mencakup IQ (Davidson, 2000).

 

Agar anak berbakat bisa berkembang secara optimal, diperlukan layanan khusus seperti 1.Kelas khusus. Secara historis, ini adalah cara lazim untuk mendidik anak berbakat. Kelas khusus selama masa sekolah reguler dinamakan program “pull-out”. Beberapa kelas khusus diselenggarakan setelah sekolah reguler, atau di masa liburan. 2.Akselerasi dan pengayaan di kelas reguler. 3.Program mentor dan pelatihan. Beberapa pakar percaya ini adalah cara penting yang jarang dipakai untuk memotivasi, menantang, dan mendidik anak berbakat secara efektif (Pleiss & Feidhusen, 1995).  4.Kerja studi dan/atau program pelayanan masyarakat.

 

VIII.Pengembangan Kreativitas dalam Pendidikan

Kreativitas (creativity) adalah salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting, dan oleh kebanyakkan ahli psikologi kognitif dimasukan ke dalam kemampuan memecahkan masalah. Kreativitas sering juga disebut berpikir kreatif (creative thinking).

Kreativitas dapat didefenisikan sebagai aktivitas kognitif atau proses berpikir untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang baru dan berguna atau new ideas and useful (Halpern, 1996; Suharnan, 2005).

Menurut Wallas (dalam Suharnan, 2005)  langkah-langkah berpikir kreatif meliputi: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap persiapan seseorang berusaha mengumpulkan berbagai macam informasi yang relevan. Saat inkubasi seseorang untuk sementara waktu tidak memikirkan masalahnya. Tahap illuminasi berupa munculnya ilham secara tiba-tiba, berupa lintasan imajinasi sebuah jawaban. Terakhir verifikasi berupa melaksanakan gagasan.

Terdapat tujuh jenis kreativitas yakni 1) verbal atau linguisti berupa kemampuan memanipulasi kata secara lisan atau tertulis. 2) Matematis atau logis yakni kemampuan memanipulasi system nomor dan konsep logis. 3) Spasial yakni kemampuan melihat dan memanipulasi pola dan desain. 4) Musical berupa kemampuan mengerti dan memanipulasi konsep music, seperti nada, irama, dan keselarasan. 5) Kinestetis – tubuh yaitu kemampuan memanfaatkan tubuh dan gerakan, seperti dalam olahraga atau tari. 6) Intrapersonal :berupa kemampuan memahami perasaan diri sendiri, gemar merenung serta berfilsafat. 7) Interpersonal merupakan kemampuan memahami orang lain, pikiran, serta perasaan mereka.

Dr.Amabile (dalam Goleman dkk, 2005) telah mengidentifikasi beberapa pembunuh kreativitas seperti 1) pengawasan  secara terus menerus dan ketat;  2) evaluasi yaitu membuat anak khawatir tentang bagaimana orang lain menilai apa yang mereka kerjakan; 3) Hadiah yakni memberi hadiah yang terlalu sering, menghilangkan motif intrinsik anak untuk kreatif. 4) Kompetisi dengan menempatkan anak dalam situasi menang-kalah hanya memungkinkan satu orang yang meraih titik puncak. 5) Kontrol berlebihan dengan memberikan instruksi secara rinci. 6) Membatasi pilihan dengan mengatakan kepada anak aktivitas yang harus dilakukan dan tidak; 7) Tekanan yakni menetapkan harapan besar pada kinerja anak.

 

Strategi yang bisa dilakukan agar kreativitas anak tetap muncul dan meningkat antara lain menyatu dengan masyarakat luas, merancang suatu lingkungan bernilai tambah, mencari lingkungan baru, mencari inspirasi dari permainan, mengembangkan daya pikir dengan membaca, berkesenian, dan belajar ICT.

IX.Pelatihan dan Pengembangan Peserta Didik

Tujuan dari pelatihan dan pengembangan peserta didik antara lain untuk mempeljarai proses analisa kebutuhan training, perencanaan training, dan metode pengajaran.  Selain itu juga ditujukan untuk mengetahui pentingnya peranan pelatihan dalam pengembangan sumberdaya.

Pelatihan adalah suatu kegiatan yang direncanakan untuk memfasilitasi proses belajar dalam kerangka mencapai kompetensi dipersyaratkan.

Pendidikan adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai moral dan pemahaman yang dibutuhkan dalam seluruh aspek kehidupan. Perbedaan mendasar antara pelatihan dan pendidikan: pendidikan berfokus pada “belajar tentang” (learning about), pelatihan berfokus pada “belajar bagaimana” (learning how). Pendidikan mencakup pengajar, lama, ceramah, teoritik, dan materi umum. Pelatihan meliputi instruktur, singkat, berlatih atau praktek, keterampilan, materinya spesifik.

Di bawah ini perbedaan pelatihan dan pendidikan menurut Beebe, Mottet & Roach (2004).

Pelatihan

Pendidikan

Proses pengembangan keterampilan untuk tugas atau pekerjaan tertentu

Proses menanamkan pengetahuan atau informasi

Menekankan apa yang dilakukan

Menekankan mengetahui, pencapaian yang dibandingkan dengan siswa lain.

Menekankan pencapaian tingkat keterampilan

Menekankan perspektif sistem terbuka. Banyak cara untuk mencapai sasaran dengan meningkatkan kreativitas dan berpikir kritis.

Menekankan perspektif sistem tertutup; terdapat cara benar dan salah dalam menunjukkan keahlian.

Penekanan mengetahui informasi yang berhubungan dengan pekerjaan atau karir tertentu tidak diperlukan.

Menekankan level performa untuk menunjukkan pekerjaan tertentu

Penekanan pada pendekatan terbuka untuk mencapai sasaran, tidak setiap tahapan dalam proses disarankan.

Menekankan daftar komprehensif keterampilan yang dibutuhkan untuk menunjukkan perilaku khusus

 

 

Training diperlukan agar peserta didik tidak mempelajari semua hal sesuai dengan kehendak pengajar, siswa tidak memplejarai cara-cara terbaik dalam menjalankan tugas, perlu diingatkan setiap saat tentang cara kerja yang benar supaya menjadi kebiasaan.

Mekanisme training yakni memberi pelatihan kemudian berkomunikasi untuk mempengaruhi peserta agar berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan kehendak  kita yaitu mengerti, memahami, untuk kemudian menerapkan apa yang kita sampaikan menghasilkan perubahan cara kerja  dan hasil yang lebih baik

Prinsip-prinsip belajar yakni 1) training pada dasarnya merupakan sebuah proses belajar; 2) Dalam training seorang peserta training (trainee) belajar tentang sebuah pemahaman, keyakinan, sikap, dan perilaku tertentu; 3) Training dibuat dengan mengacu pada beberapa prinsip psikologi belajar; 4) Untuk bisa membuat dan menjalankan sebuah training kita perlu memahami beberapa prinsip psikologi belajar yang mendasari pembuatan training

X.Bimbingan Konseling

Meliputi 1) Rumusan Tujuan Program; 2) Pemilihan dan Pengorganisasian Materi; 3) Pemilihan Instrumen dan Media; 4) Strategi Pelayanan; 5) Waktu dan Biaya; 6) Rencana Evaluasi dan Tindak Lanjut.

Program tahunan bimbingan konseling meliputi dasar pemikiran, visi dan misi, tujuan, komponen program seperti layanan dasar, responsif, perencanaan, dukungan sistem, strategi (konsultasi), personel, sarana dan biaya, rencana evaluasi dan tindak lanjut.

Langkah-langkah pengembangan program persiapan meliputi pengembangan program, sosialisasi dan diseminasi, pengesahan program, penyusunan agenda kegiatan, pelaksanaan program, evaluasi dan tindak lanjut

Langkah persiapan pengembangan program yaitu kebijakan pendidikan nasional dan daerah, kebijakan lingkungan pendidikan pada SD/SMP/SMA/SMK, konsep bimbingan dan konseling terbaru (teoritis), kondisi lingkungan sekolah, dan hasil evaluasi program bimbingan dan konseling yang sudah dilaksanakan.

Langkah-langkah pengembangan berupa diseminasi program pada staf bimbingan konseling, diseminasi program pada pimpinan dan komite sekolah, diseminasi program pada siswa dan orangtua siswa, revisi program, pengesahan program dan agenda kegiatan, penegasan komitmen, tanggung jawab dan kompetensi.

Peran psikologi sekolah dan guru bimbingan konseling harus seimbang. Guru bimbingan konseling yang bertugas mendiagnosa siswa harus dibawa ke psikolog atau tidak. Guru BK menganalisa penyebab siswa bermasalah.

XI.Penilaian dan Asesmen Pendidikan atau Pembelajaran

Asesmen untuk menilai kualifikasi, pengetahuan, teori, pengetahuan, fakta, dan komprehensi, pengalaman, praktek, proses, keterampilan, pemahaman, dan penilaian. Asesmen dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Ciri-ciri asesmen informal antara lain fleksibel, dinamis, individu, berkelanjutan, berdasar proses, ukurannya progress.  Asesmen formal bercirikan terstruktur, statis, terstandar, mengetes pengetahuan, berorientasi produk.

Asesmen mengharuskan siswa untuk mengaplikasikan konsep dan keterampilan berpikir dalam pemaknaan, tugas-tugas autentik. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran kompetensi telah benar-benar dikuasai dan dicapai.

Penggunaan teknik asesmen kelas untuk mempelajari pembelajaran siswa. Asesmen kelas  (penilaian berbasis kelas atau PBK) merupakan metode sederhana yang dapat digunakan mengumpulkan umpan balik, lebih awal dan sering, seberapa baik siswa memahami apa yang sudah diajarkan.

Tujuan PBK antara lain untuk penelusuran kelas, mengecek kelemahan, mencari dan menemukan penyebab, kesimpulan. Fungsi PBK antara lain sebagai fungsi motivasi, belajar tuntas, indicator efektivitas pengajaran, dan umpan balik.

Prinsip-prinsip penilaian otentik antara lain harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, mencerminkan masalah dunia nyata, menggunakan berbagai ukuran, metode, dan criteria sesuai metode dan esensi pembelajaran, dan bersifat holistic mencakup semua tujuan pembelajaran seperti kognitif, afektif, dan sensori motorik. Penilaian kelas mengacu pada competency referenced, keberlanjutan, didaktis, menggali informasi, melihat yang benar dan salah.

Prosedur dan metode penilaian kelas terdiri dari penilaian tertulis, tes praktek, penilaian produk, penilaian proyek, peta perkembangan, evaluasi diri siswa, penilaian afektif, dan portofolio.

Untuk mengetahui pengalaman belajar tertentu menggunakan tes tertulis. Tes praktek digunakan untuk mengetahui pengalaman belajar yang lain. Observasi digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok. Skala sikap efektif untuk menilai aspek afektif, minat, dan motivasi siswa.

Tahapan membuat PBK antara lain 1) tentukan apa yang akan dipelajari dari asesmen kelas. 2) Pilih teknik asesmen kelas yang menyediakan feedback dengan menggunakan gaya mengajar yang konsisten. 3) Jelaskan tujuan PBK kepada siswa. 4)Membuat review untuk mengetahui apa yang perlu diubah. 5) Ajak siswa mengetahui apa yang sudah dipelajari guru.

Kriteria instrumen penilaian seperti validitas isi, konstruk, dan bahasa memenuhi syarat, reliabilitas tinggi dan konsisten, nilai komparasinya memenuhi syarat, perwajahan dokumen standar, mampu memprediksi dan mudah penggunaannya.

XII.Review Kapita Selekta Pendidikan

Menurut Bloom aspek pendidikan ada kognitif, afektif, dan psikomotorik. Psikomotorik semakin banyak berlatih semakin terampil. Implementasi teori pembelajaran. Konsep merupakan arti  dan penjelasan dari masing-masing variabel. Teori merupakan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain. Kalau mau kognitif bagus harus mengikuti tahapan-tahapan Piaget. Stimulus apa responsnya apa. Kalau stimulus sudah didesain, tetapi respons tidak seperti yang diharapkan.

Kapita selekta`mempelajari stages, tahapan-tahapan perkembangan. Juga`ranah fisik, kognitif, dan social adjustment. Dalam prosesnya ada anak berkebutuhan khusus. Bisa karena masalah fisik, perkembangan kognitif autis, menjadikan pendidikan complicated. Seringkali orang tidak memakai, klasifikasi orang berkebutuhan khusus. Didesain untuk anak berkebutuhan khusus  dipenuhi kebutuhannya agar menjadi normal.

Memfasilitasi tahap-tahap perkembangan setiap individu. Fisik berkembang bagus belum tentu kgnitifnya bagus. Persoalan penddikan lebih complicated. Harus mencari teori. Bagaimana bisa mengembangkan variabel-variabel dalam teori.

Metode tahapan perkembangan  disesuaikan dengan tahapan perkembangan. Dalam konteks pendidikan, melihat tahapan perkembangan sesuai dengan tahapan perkembangan.  

B.Opini Penulis

Tujuan pendidikan adalah untuk mengoptimalkan perkembangan individu selama rentang kehidupannya. Meskipun tujuan spesifik pendidikan bisa lebih beragam baik perkembangan individu dan sosiokultural (Baltes & Dannis, 1979; Birren & Woodruff, 1973; Kohlberg&Mayer, 1972). Setiap individu secara terus menerus belajar dan berubah sepanjang hidupnya. Intervensi melalui pendidikan menjadi mekanisme terbaik untuk menghasilkan perkembangan secara optimal. 

Karena ditujukan untuk mengoptimalkan perkembangan individu, maka pendidikan harus memperhatikan individu sebagai pelaku aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Aspek-aspek seperti afektif, kognitif, psikomotorik seperti teori Benjamin Bloom harus menjadi pertimbangan dan tujuan belajar.

Dari identifikasi aspek-aspek yang menjadi tujuan kegiatan pembelajaran, maka sudah seharusnya pendidikan melihat individu secara keseluruhan. Sehingga, pendidikan ideal untuk memberikan nilai tambah bagi kehidupan peradaban sebuah bangsa, harus mampu melihat kebutuhan krusial menyangkut siswa disesuaikan dnegan kondisi dan perkembangannya.

Maka, sistem pendidikan yang baik harus bisa mengakomodasi kebutuhan individu baik normal maupun berkebutuhan khusus. Dengan adanya layanan khusus yang terintegrasi, anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) bisa belajar optimal dan berkembang sehingga bisa seperti anak-anak normal. Anak-anak bertalenta (gifted) mendapat lingkungan sekolah yang mendukung penuh bakat mereka.

Dari sisi pendidikannya sendiri sebagai medium transmisi sosial budaya sebuah masyarakat dan bangsa untuk menciptakan civil society juga harus memperhatikan input, proses, dan output dengan tetap memperhatikan siswa sebagai seorang pribadi yang berkembang. Sehingga instrumen baik fisik seperti gedung sekolah, sarana prasarana, sumberdaya guru, kepala sekolah, akses informasi, dan kurikulum didesain untuk memberikan kenyamanan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Output sebagai parameter pendidikan tidak hanya mengacu pada nilai-nilai yang lebih condong pada aspek kognitif. Karena peserta didik merupakan nindividu yang dituntut tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga terampil di bidang lain seperti sosial, dll. Sehingga, pendidikan yang baik tidak hanya mengutamakan kegiatan akademik yang fokus pada kognitif, tetapi juga mampu menggugah rasa, emosi (afektif) menjadi pribadi yang berbudi dan memberikan nilai tambah bagi lingkungan dan bangsanya menuju sebuah kemajuan dan kesejahteraan,

Referensi:

Schaie, K Warner & Willis, L Sherry (1978). Life span development: Implication for educations. Review of Research in Education Vol.6.  American Educational Research Association Publishing.

http://www.jstor.org/discover

Santrock, John W (2002). Life span Development, Terjemahan. Jakarta: Erlangga

Goal Orientation


By Susan Sutardjo

I.Pendahuluan

Teori goal orientation (goal orientation theory) merupakan teori kognitif sosial yang berhubungan dengan motivasi berprestasi. Teori ini muncul pada awal abad ke-20 dan berkembang menjadi bagian penting dalam kerangka kerja teoritis di bidang motivasi akademik setelah pertengahan tahun 1980-an. Sehingga pembahasan teori orientasi goal selalu dikaitkan dengan teori motivasi.

Selain teori goal orientation ada teori motivasi lain yakni teori atribusi. Kedua teori ini mempunyai fokus berbeda. Teori atribusi membahas tentang kepercayaan (belief) siswa akan kesuksesan dan kegagalan. Teori goal orientation menguji alasan-alasan mengapa siswa terlibat dalam aktivitas akademik. Teori goal orientation lebih berpengarih pada bidang pendidikan. Namun demikian, teori ini digunakan pada ranah psikologi olahraga, psikologi kesehatan, dan psikologi sosial.

 

II.Pengertian

Carol Dweck (1986) mendefinisikan goal orientation sebagai pereferensi tujuan dalam berprestasi. Menurut kamus Oxford goal orientation diartikan sebagai bangunan motivasi yang mengacu pada definisi sukses. Konteks sukses dihubungkan sebagai pemenang atau mengalahkan orang lain, mempunyai ego goal orientation, perbaikan individu dan menguasai tugas.

 

III.Jenis-Jenis Goal Orientation

Pintrich (2000) membedakan goal orientation menjadi dua yaitu mastery goal (mastery-oriented) dan performance goal (performance-oriented). Mastery goal merupakan tujuan dalam pengertian yang sebenarnya atau menguasai tugas. Siswa yang berorientasi menguasai tugas akan tertarik pada perbaikan diri dan cenderung membandingkan tingkat pencapaian diri pada saat ini dengan sebelumnya.

Performance goal (performance-oriented) adalah goal untuk menunjukkan kemampuan diri melalui komparasi dengan orang lain. Siswa dengan performance-oriented tertarik dalam kompetisi, menunjukkan kompetensinya dan pencapaianya kepada siswa lain. Mereka juga cenderung menggunakan siswa lain sebagai pembanding daripada diri mereka sendiri.

Carol Dweck (1986) membagi goal orientation menjadi dua: learning goal orientation dan performance goal orientation.  Learning goal orientation adalah preferensi dalam membangun kompetensi melalui pengembangan kemampuan (ability) dan penguasaan (mastery) dalam menghadapi situasi tertentu. Learning goal orientation ini sama dengan mastery goal.

Performance goal orientation merupakan preferensi dalam menunjukkan kompetensi dengan mencari penilaian positif dan menghindari penilaian negatif. Sehingga performance goal orientation  meliputi dua hal yaitu keinginan mendapat penilaian baik dan menghindari penilaian buruk.

Don Valle Walle (2001) membagi goal orientation menjadi tiga: learning goal orientation, proving goal orientation, dan avoiding goal orientation. Learning goal orientation adalah keinginan mengembangkan diri dengan mempelajari skill baru, menguasai situasi baru, dan memperbaiki kompetensi diri.  Proving goal orientation adalah keinginan menunjukkan kompetensi dan menghindari penilaian negatif dari orang lain. Avoiding goal orientation adalah keinginan individu menghindari situasi yang bisa menyangkal kompetensinya dan menghindari penilaian negatif dari orang lain.

Terminologi lain mengenai mastery goal dan performance goal dikaitkan dengan approach (pendekatan) dan avoidance (penghindaran). Approach dalam mastery goal dikaitkan dengan pembelajaran yaitu tertarik menguasai tugas-tugas akademik dalam arti sesungguhnya. Contohnya tujuan Jennifer dalam kelas Bahasa Perancis. Ia ingin lancar berbahasa Perancis karena tertarik bahasa, ingin bercakap-cakap dan membaca literature dalam Bahasa Perancis.

Sedangkan avoid dalam mastery goal adalah menghindari tidak memahami tugas. Misalnya tujuan Jason dalam kelas Bahasa Perancis adalah menghindari tidak memahami pelajaran tata bahasa yang diajarkan gurunya.

Approach dalam performance goal adalah goal yang tertarik menunjukkan kemampuan kepada orang lain bahwa mereka lebih kompeten dibandingkan dengan yang lain. Contohnya tujuan Haley dalam kelas Bahasa Perancis adalah menunjukkan kepada guru dan temannya kalau ia berbicara Bahasa Perancis lebih baik dibandingkan dengan teman sekelasnya.

Avoid dalam performance goal adalah tertarik menghindari terlihat tidak kompeten atau bodoh. Contohnya tujuan TJ dalam kelas Bahasa Perancis adalah menghindari terlihat tidak kompeten berbicara atau membaca Bahasa Perancis.

Dalam konteks pembelajaran di kelas, goal siswa dikonsepkan dengan goal pribadi baik mastery goal dan performance goal orientation. Sedangkan struktur classroom goal (classroom goal structure) mengacu pada kepercayaan (belief) siswa pada goal yang dikaitkan dengan guru di ruang kelas. Struktur classroom goal (classroom goal structure) dibedakan menjadi struktur classroom mastery goal dan struktur classroom performance goal.

Siswa yang menggunakan mastery goal di ruang kelas percaya bahwa instruksi pengajaran di kelas menekankan pada perbaikan, belajar  menguasai (mastery) materi baru, dan membandingkan penguasaan materi pelajaran pada diri sendiri. Sedangkan siswa yang mempunyai performance goal di kelas akan menggunakan goal untuk berkompetisi, meningkatkan ranking, dan membandingkan kemampuan dan pencapaian diri dibandingkan dengan siswa lain.

Mastery goal dinilai sebagian besar kalangan lebih baik dibandingkan dengan performance goal. Apakah performance goal buruk? Perdebatan mengenai performance approach goal dalam literatur Psikologi Pendidikan difokuskan pada revisi teori goal orientation pada penghujung 1990-an. Beberapa peneliti berargumen bahwa performance approach goal adaptif dan menguntungkan siswa jika dipasangkan dengan mastery goal (Harackiewicz, Barron, Pintrich, Elliot, &Trash, 2002).

Studi lebih lanjut tentang performance goal adaptif bagi siswa sangat diperlukan. Dalam konteks pembelajaran, hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan jangka pendek dan jangka panjang sebuah pembelajaran, latar belakang sekolah dan lingkungan sosial, serta karakteristik individu siswa.

Hal di atas tidak terlepas dari penelitian beberapa peneliti yang menemukan sedikit manfaat performance approach goal (Midgley, Kaplan, &Middleton, 2001). Perdebatan ini mempunyai implikasi penting dalam desain lingkungan pendidikan dan perbaikan sekolah. Roeser (2004) menyatakan perdebatan dipicu oleh fakta beberapa teori goal concern dengan masalah perbaikan lingkungan sekolah (Midgley, et al).

Teori lain memperhatikan perkembangan model teoritis dalam menjelaskan dan meningkatkan motivasi siswa (Harackiewicz et al). Selain memperdebatkan performance goal, sebagian besar teori goal membahas manfaat mastery goal bagi hasil belajar.

.

IV. Metode Riset dan Pengukuran dalam Mengetes Goal

Instrumen survey yang digunakan dalam menguji orientasi goal (goal orientation) adalah self-report (pelaporan diri). Siswa melengkapi data survey untuk menilai tujuan personal siswa dan persepsi mereka tentang kelas dan struktur school goal. Beberapa periset mengumpulkan data penelitian untuk mendapatkan gambaran goal orientation atau orientasi goal siswa.

Terdapat banyak alat ukur dalam mengetes orientasi goal. Salah satu yang paling umum digunakan adalah Pattern of Adaptive Learning Survey (PALS; Midgley et al, 1998). PALS berisi pengukuran goal personal siswa tentang persepsi struktur classroom goal. Alat ukur ini mengukur rentang usia kelompok meliputi anak-anak, remaja, dan mahasiswa.

Pengukuran lain dalam goal orientation adalah AGQ yang diciptakan Elliot et al (Conroy, Elliot, & Hofer, 2003) dan alat ukur yang dikembangkan oleh Dweck (Dweck, 1999). Alat ukur ini bisa digunakan untuk mengukur orientasi goal siswa.

Sebagian besar survey mengukur goal berprestasi, menguji alasan siswa terlibat dalam tugas-tugas akademik. Namun, Nichols mengkonsep ukuran goal orientation dalam pengertian bagaimana siswa merasakan pembelajaran di kelas (Nicholls, 1989).

Beberapa peneliti menggunakan metodologi tertentu untuk menguji goal. Misalnya Patrick, L. Anderman et al mengembangkan instrumen observasi yang dapat digunakan oleh observer untuk menilai struktur goal dalam ruangan kelas (Patrick, Anderman, Ryan, Edelin, &Midgle, 2001). Turner, Meyer, et al menguji diskursus pendidik siswa untuk menguji bagaimana guru mengkomunikasikan tujuan kepada siswa (Turner et al, 2002).

 

V. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi  Orientasi Goal

Peneliti motivasi yang mempelajari goal orientation menyatakan karakteristik individu dan kontekstual mempengaruhi jenis-jenis goal yang digunakan siswa dalam lingkungan pembelajaran yang beragam. Penelitian menunjukkan lingkungan tempat siswa belajar mempengaruhi orientasi goal siswa.

Perbedaan individu yang mempengaruhi orientasi goal ditekankan pada perbedaan gender. Meskipun studi lain menyatakan perbedaan gender tidak memiliki pengaruh dalam memilih goal orientation. Dari berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung memiliki performance orientation ketimbang perempuan.

Faktor lain yang mempengaruhi goal orientation adalah perbedaan suku. Midgley dan Middleton (1997) menggunakan sample orang Eropa Amerika dan Afrika Amerika untuk membandingkan orientasi goal di antara kedua suku. Dalam performance goal atau avoid goal tidak ditemukan perbedaan antar keduanya. Namun, pada mastery goal ditemukan bahwa remaja Afrika Amerika lebih tinggi ketimbang Eropa Amerika. Pelajar Afrika Amerika juga lebih banyak menggunakan mastery oriented dan extrinsic oriented  (Freeamn, Gutman, &Midgley, 2002).

Dalam studi yang dilakukan Edelin (1998) ditemukan bahwa siswa yang diajak berdiskusi tentang orientasi goal berprestasi sebagian besar mengatakan memiliki extrinsic goal. Mereka kadang-kadang menyebut mastery goal dan jarang menyebut performance goal.

Selain perbedaan gender dan suku, kepercayaan siswa tentang intelegensi juga mempengaruhi goal orientation. Dweck, et all (1999) menemukan indikasi bahwa siswa yang memiliki kepercayaan intelegensi dapat diubah cenderung menggunakan mastery goal. Sebaliknya siswa yang percaya intelegensi tetap akan menerapkan performance goal.

Goal orientation menurut sebagian ahli dipengaruhi oleh karakteristik dan sosial yang dikategorikan sebagai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Karakteristik meliputi extraversion, terbuka pada pengalaman, stabilitas emosi, kesadaran diri dan ramah. Faktor sosial terdiri dari sekolah, guru, dan orang tua.

VI.Hubungan Orientasi Goal dengan Hasil Belajar

Goal orientation baik mastery dan performance kerap dihubungkan dengan beragam hasil belajar. Ketika siswa menggunakan orientasi goal, mastery maupun performance dapat diprediksi hasil belajar siswa tersebut bagus.

Riset juga menemukan indikasi siswa yang menggunakan mastery goal membuahkan hasil adaptif (Anderman & Wolters, 2006). Siswa yang menggunakan mastery goal akan tetap mengerjakan tugas-tugas akademik meskipun sulit, membutuhkan waktu lama, mau terlibat dalam tugas, menggunakan strategi proses kognitif yang efektif, kecil kemungkinan memiliki perilaku yang merugikan, dan memilih melanjutkan menyelesaikan tugas meskipun opsional. Misalnya mengambil kursus tambahan setelah selesai mengikuti kursus tertentu.

Ketika goal orientation dihubungkan dengan hasil belajar, sedikit penelitian yang menghubungkan langsung antara mastery goal dengan pencapaian akademik. Banyak riset juga mempelajari mastery-approach goal tetapi tidak menguji mastery avoid goal.

Hubungan antara performance goal dan hasil belajar lebih    kompleks. Sebelum tahun 1990-an, peneliti sering mengukur performance approach dan avoid goal dalam skala sama, sehingga mengacaukan pengukuran. Karena kekacauan ini akhirnya peneliti membedakan approach dan avoid performance goal.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan performance avoid goal tidak berhubungan positif dengan hasil adaptif. Lebih spesifik studi mengindikasikan performance-avoid goal dihubungkan dengan pencapaian akademik rendah, level keterlibatan akademik rendah, perilaku menghindar seperti merugikan diri sendiri (Urdan, Ryan, Anderman, & Gheen, 2002).

Studi tentang hubungan performance approach goal dengan hasil belajar memiliki hasil beragam. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penggunaan performance approach goal dihubungkan dengan ketekunan mengerjakan tugas-tugas akademik. Studi lain menunjukkan performance-approach goal dihubungkan dengan penggunaan kognitif adaptif dan strategi metakognitif. Namun beberapa penelitian tidak menemukan adanya hubungan tersebut.

Beberapa riset malah menunjukkan penggunaan performance approach goal dihubungkan dengan hasil maladaptive seperti menghindari mencari bantuan (Ryan, Hicks, &Midgley, 1997).  Sementara riset lain menemukan hubungan positif antara kelas mata kuliah dengan performance-approach goal pada mahasiswa dan kadang-kadang pada siswa yang lebih muda (Anderman&Wolters, 2006).

Relasi antara struktur goal di ruang kelas (classroom goal structure) dengan hasil belajar membuahkan hasil kurang lebih sama. Persepsi struktur mastery goal biasanya dihubungkan dengan hasil adaptif. Sedangkan persepsi struktur performance goal sering dikaitkan dengan hasil maladaptive. Studi menguji relasi struktur performance goal dengan bidang pencapaian akademik digabung dengan studi tentang struktur performance goal yang dihubungkan negative dengan prestasi (E.M Anderman&Midgley, 1997). Studi lain mengindikasikan struktur mastery goal dalam ruang kelas tidak berhubungan dengan prestasi (Midgley&Urdan, 2001).

 

VII.Implikasi Bagi Pendidik

Selama hampir dua dekade (dari tahun 1985 hingga 2000-an) riset mengenai goal orientation berprestasi menawarkan sejumlah implikasi praktis bagi pendidik. Para pendidik seyogyanya berpikir kritis dalam memahami jenis-jenis goal mana yang tepat bagi siswanya untuk meningkatkan motivasi siswa.

Salah satu hal menarik dari prinsip goal orientation adalah tujuan siswa bisa diubah termasuk goal di kelas. Secara umum goal bisa diubah sesuai konteks sosial berbeda. Tugas pendidik adalah mempengaruhi konteks sosial sekolah dan kelas dengan merubah instruksi pengajaran.

Dalam merubah instruksi pengajaran para pendidik bisa menggunakan teori goal orientation sebagai pedoman kerangka kerja. Maehr, Midgley pada awal 1990-an telah melakukan riset menggunakan teori goal orientation sebagai pedoman dalam memperbaiki instruksi pengajaran. Mereka fokus pada praktek yang bisa meningkatkan goal baik mastery maupun performance.

Maehr dan Midgley kemudian mengeliminasi praktek pengajaran yang fokus pada performance goal dan meningkatkan strategi yang memungkinkan siswa menggunakan mastery goal. Hasilnya goal bisa diubah dan motivasi siswa meningkat (Maehr & Midgley, 1996).

Implikasi dalam goal orientation yang  bisa diterapkan pendidik seperti tersebut di bawah ini.

  • Menggunakan TARGET (task,      authority, recognition, grouping, evaluating, time) yang dikembangkan      oleh Joyce Epstein untuk menguji dan memberikan instruksi praktis sesuai      dengan teori goal orientation.
  • Tugas-tugas (task)      diperiksa dan diubah untuk mendorong siswa fokus pada penguasaan tugas      tanpa memperhatikan performa siswa lain.
  •  Otoritas (authority) mengacu pada bagaimana      mengontrol siswa dalam menyelesaikan tugas. Ini lebih memungkinkan siswa      menggunakan mastery goal dengan      memberikan beberapa pilihan dalam mengerjakan tugas.
  • Pengakuan (recognition), yaitu pendidik mengakui keberadaan siswa      atas penyelesaian tugas mereka sebagai personal, bukan membandingkan      performa mereka dengan yang lain.
  • Pengelompokan (grouping)      memandu pengajar bagaimana mengatur siswa tanpa melihat kemampuan akademik      dalam pengajaran. Jika siswa dikelompokkan berdasarkan pencapaian akademik      akan mendorong siswa mengadopsi performance goal. Siswa akan menggunakan      mastery goal jika pendidik mengelompokkan siswa berdasarkan ketertarikan      mereka.
  • Evaluasi (evaluation)      adalah bagaimana pendidik menilai siswa. Evaluasi guru bisa berdasarkan      penguasaan siswa pada tugas atau seberapa cepat dan akurat siswa      menyelesaikan tugas dibandingkan dengan yang lain.
  • Waktu (time) adalah      bagaimana menyusun waktu dan berapa banyak waktu yang digunakan di kelas.      Beberapa pendidik memberikan waktu cukup untuk menyelesaikan tugas      kompleks. Menyusun waktu berkaitan dengan pembatasan waktu bagi siswa      dalam menyelesaikan tugas.

Implikasi lain dari goal orientation theory yang bisa digunakan bagi pendidik antara lain:

  • Fokus pada aspek kegiatan pembelajaran      bermakna.  Guru memberi penekanan      bagaimana tugas-tugas pelajaran relevan dengan dunia di luar sekolah.
  • Membuat tugas yang mengandung unsur kebaruan,      beragam, berbeda, dan menarik. Guru seharusnya menyediakan beragam tugas      bagi siswa agar mereka terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Tugas-tugas      tersebut diusahakan memiliki unsure kebaruan, menarik atau memiliki      kejutan sehingga siswa akan terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
  • Mendesain tugas yang memberi tantangan siswa      dengan tetap memperhatikan kemampuan mereka..
  • Memberi kesempatan siswa memilih dan mengontrol      kegiatan pembelajaran. Misalnya dalam mengerjakan tugas laporan,  siswa diberi kebebasan memilih sub topik      mata pelajaran tertentu.
  • Fokus pada perbaikan, pembelajaran, kemajuan, dan      penguasaan. Pendidik fokus pada bagaimana siswa menguasai pelajaran dengan      memberikan feedback untuk lembar kerja dan tugas harian siswa. Pendidik      juga bisa melakukan kompilasi tugas-tugas siswa dengan menempatkan tugas      setiap siswa dalam folder untuk melihat perkembangan progress siswa.
  • Membuat evaluasi secara personal, bukan untuk      publik atau menilai seorang siswa di kelas. Pendidik bisa melakukan      evaluasi siswa di ruang kelas atau membuat papan berisi progress siswa.      Tetapi cara ini memberikan dampak negatif bagi siswa yang kurang menguasai      pelajaran. Atau siswa akan terpacu belajar untuk terlihat mampu di kelas      (performance goal). Untuk mendorong siswa menggunakan mastery goal, guru      bisa membuat lembar penilaian progress secara pribadi untuk siswa      bersangkutan.
  • Memberi pengakuan atas usaha siswa. Sebisa      mungkin guru memberikan pengakuan atas tugas yang sudah diselesaikan.      Bukan pada kualitas siswa menyelesaikan tugas. Guru bisa memberikan tanda      pada siswa yang berusaha keras memahami pelajaran.
  • Membantu siswa yang melihat kesalahan sebagai      kesempatan untuk belajar. Guru memberi pengertian kepada siswa bahwa membuat      kesalahan di ruang kelas bukanlah aib tetapi kesempatan untuk belajar dan      memahami pelajaran.
  • Menggunakan kelompok kooperatif secara heterogen      pada interaksi teman sebaya dengan menggunakan tugas individu untuk      mengetahui progress.
  • Sesuaikan waktu dengan tugas siswa. Strategi ini khususnya      diperuntukkan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan      tugas dengan mengijinkan siswa membuat time schedule dalam mengerjakan      tugas. Guru menanyakan kepada siswa yang kesulitan menyelesaikan tugas berapa      waktu yang dibutuhkan dengan memberikan batasan waktu.

Daftar Pustaka

Walle, Don Valle (2001). Goal Orientation: Advances Construct in Conceptualization dan Validation Research. San Diego CA: SIOP National Meeting.

http://www.answers.com/topic/goal-orientation#ixzz1wq35F0tg

http://www.education.com

Dekat dengan Immanuel Kant


Pemikiran Immanuel Kant

Pengaruhnya Pada Filsafat, Modernisme dan Psikologi

 

I. Pendahuluan

“Thought without contents are empty, intuition without concepts are blind.” Demikian salah satu kutipan pemikiran Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf besar pada abad pencerahan. Ia menunjukkan jalan terbuka dalam membangun suatu proses subyektif dan obyektif pengetahuan agar pengetahuan tidak menjadi buta dan berat sebelah. Bagi Kant ilmu pengetahuan dalam bekerja harus memenuhi syarat obyektif maupun subyektif (Awuy, 1993).

Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan titik sentral manusia sebagai subjek berpikir terinspirasi dari Copernican Revolution yakni revolusi pemikiran yang dilakukan Kant dalam mencari sumber pengetahuan pada diri manusia, khususnya mengenai fenomena yang mementingkan kesadaran subjek yang kemudian melahirkan idealisme yang memuncak pada Hegel. Juga mengenai apriori telah melahirkan sentralitas subjek sebagai penentu kebenaran sebuah pengetahuan.

Dengan revolusi ini, filsafat Kant tidak dimulai dengan penyelidikan benda sebagai objek, tetapi dengan menyelidiki struktur-struktur subyek yang memungkinkan benda-benda diketahui sebagai obyek. Dulunya para filsuf mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri kepada obyek (Dister, 1992).

Kant lahir di Konisberg, Kerajaan Prussia Timur, sekarang Kaliningrad, Rusia. Kant mengusung  kembali metafisika dengan versi baru, berbeda dengan metafisika tradisional. Sebelumnya, metafisika tidak diakui oleh David Hume, salah stau filsuf yang berpengaruh pada pemikiran Kant, beraliran empirisme.

Immanuel Kant lahir dan besar dalam lingkungan keluarga religius. Semasa hidupnya Kant tidak menikah. Ia seorang yang  hidup tertib dan disiplin. Kant jarang keluar dari kota kelahirannya yakni Konisberg yang sekarang dikenal sebagai Kaliningrad, Rusia. Ia tidak pernah bepergian keluar dari provinsi tempat tinggalnya, Prusia Timur. Sehingga Kant selama hidupnya tidak pernah bepergian lebih dari 40 mil dari rumahnya di Konisberg. Padahal, Immanuel Kant mengajar dan menulis ilmu geografi.

Ayah Kant bernama Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi) yang dikemudian hari dikenal sebagai ahli perdagangan. Ibu Kant bernama Anna Regina Kant.

Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George’s Hospital School. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Collegium Fredericianum. Kant kuliah di University of Königsberg  mempelajari filosofi, matematika, dan ilmu alam. Pada tahun 1755-1770 Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah. Ia mendapat gelar profesor dari University of Königsberg pada 1770.

Kant hidup pada abad aufklarung (pencerahan). Ia mengenal pemikiran Voltaire dan Hume melalui karya dua filsuf besar itu. Sebelum bersentuhan dengan pemikiran filsafat, Kant terpengaruh dengan ajaran pietisme yang dianut ibunya. Pietisme adalah ajaran agama Pietist yakni agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Pembahasan tentang Kant dalam makalah ini mengupas epistemologi, etika atau filsafat moral, dan metafisika yang menjadi concern pemikiran Kant serta pengaruh pemikiran Kant pada filsafat, modernisme dan  psikologi.

II. Literature Review

Filsafat menurut Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: 1) apakah yang dapat kita kerjakan (jawabannya metafisika) 2)apakah yang seharusnya kita kerjakan (etika) 3) sampai di manakah harapan kita (agama) 4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi). Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada (Plato). Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).

Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya di zaman modern. Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu ‘modernisme’. Walaupun demikian, ‘modernisme’ pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia ‘modern’, dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negara-bangsa (Wikipedia).

Secara harfiah psikologi bisa diartikan sebagai ilmu jiwa karena berasal dari Bahasa Yunani yakni psyche (jiwa), logos (ilmu). Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya (Sarlito Wirawan W, 2010).

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos (kata atau pembicaraan atau ilmu). Sehingga epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. (Wikipedia)

Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (Scruton, 1996). Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia.(Wikipedia). Rasionalisme adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. (Wikipedia)

Metafisika berasal Bahasa Yunani yakni meta artinya setelah atau di balik dan phisika artinya hal-hal di alam. Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.

Etika berasal dari Yunani Kuno yakni “ethikos” artinya “timbul dari kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. (Wikipedia)

III.Pokok Bahasan

 

A.Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)

Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia yang diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

Kant menganggap kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita lihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Untuk pengenalan, Kant berargumen bahwa obyek mengarahkan diri ke subyek. Tidak seperti filsuf sebelumnya yang mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek.

Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak yakni fakultas penerimaan kesan-kesan inderawi (sensibility) dan fakultas pemahaman (understanding) yang membuat keputusan-keputusan tentang kesan-kesan inderawi yang diperoleh melalui fakultas pertama.

Kedua fakultas saling membutuhkan dalam rangka mencapai suatu pengetahuan. Fakultas penerimaan bertugas menerima kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan a apriori intuisi ruang dan waktu. Fakultas pemahaman bertugas memasak yaitu menyatukan dan mensintesakan pengalaman-pengalaman yang telah diterima dan ditata oleh fakultas penerima selanjutnya diputuskan.

Dalam bekerja, fakultas pemahaman memiliki sarana yang disebut kategori terdiri dari 12 item menjadi syarat apriori.  Kedua belas kategori ini adalah  kuantitas (universal, particular, singular), kualitas (affirmative, negative, infinitive), relasi (categorical, hypothetical, disjunctive) dan modalitas (problematical, assertorical, apotidical).

Menurut Kant meskipun seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, namun ide dan konsep hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep serta kebenaran tidak akan pernah bisa diaplikasikan. Akal budi manusia hanya bisa berfungsi bila dihubungkan dengan pengalaman. Oleh karena itu akal budi dan pengalaman inderawi, tidak dapat dianggap sebagai dasar menyatakan keberadaan Tuhan. Bagi Kant, eksistensi Tuhan diperlukan sebagai postulat bagi kehidupan moralitas (Hick, 1979). Pembahasan epistemologi Kant dikaitkan dengan dua karyanya Kritik atas Rasio Murni dan Kritik Rasio Praktis.

Kritik atas Rasio Murni

Kritik atas rasio murni (Critique of Pure Reason) merupakan karya pertama Immanuel Kant. Critique of Pure Reason memuat pemikiran Kant tentang estetika transendental, analitika transendental dan dialektika transendetal.

Dalam “Kritik atas Rasio Murni”  Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan  bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk  itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama, keputusan analitis a priori yang menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).

Kedua, keputusan sintesis aposteriori dengan predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya meja itu bagus.

Ketiga, keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun  atas putusan sintesis bersifat apriori. Kant menyebut keputusan jenis ketiga sebagai syarat dasar sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.

Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap.Pertama, pencerapan inderawi (sinneswahrnehmung). Kedua, akal budi (verstand). Ketiga, intelektual atau rasio (versnunft). Pencerapan inderawi masuk dalam estetika transendental, akal budi ada pada bagian analitikal transendental, rasio masuk dalam dialektika transendental.

Pertama, pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.

Menurut Immanuel Kant,  manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.

Kedua, akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.

Ketiga, intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).

Rasio berbeda dengan akal budi. Rasio (versnunft) menghasilkan ide-ide transcendental. Akal budi berkaitan dengan penampakan. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan akal budi menemukan kesatuan (Kant, 1990).

Dalam dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).

Meskipun ketiga ide di atas mengatur argumentasi tentang pengalaman, tetapi ketiga ide itu tidak termasuk pengalaman karena ke-12 kategori tidak dapat diberlakukan pada ide transendental ini disebabkan ketiganya bukan obyek pengalaman.

Pengalaman hanya terjadi dalam fenomena, padahal ketiga ide itu berada di dunia nomena, yang tidak tampak. Ide tentang jiwa, dunia, dan Tuhan bukan pengertian tentang kenyataan inderawi, bukan benda pada dirinya sendiri (das ding an sich). Ketiganya merupakan postulat epistemology yang berada di luar teoritis empiris.

Kritik atas Rasio Praktis

Dalam Kritik der Pratischen Vernunft (1788)  atau  Kritik atas Rasio Praktis Kant menyatakan bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan.  Sehingga  rasio disebut sebagai rasio teoretis  atau rasio murni. Selain rasio murni, ada rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia.

Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut  sebagai postulat  rasio praktis yaitu 1) Free will yakni kehendak yang bebas; 2) Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia. 3) Tuhan.

 

 

B.Kritisisme

Perjalanan Kant hingga menemukan kritisisme dibagi dalam dua fase: tahap pra kritis dan kritis dengan tahun 1770 sebagai batasnya ketika Kant menjabat sebagai guru besar filsafat (Hadiwijono, 1980:64). Namun, sumber lain mengatakan masa pra kritis adalah sebelum Kant bertemu dengan David Hume. Immanuel Kant mengatakan bahwa Hume adalah pihak yang membangunkan ia dari kelelapan sejenak yang diliputi dogmatism (Delfaauw, 1992:120).

Era pra kritis Kant ditandai dengan dominasi pengaruh tokoh-tokoh rasionalisme seperti Plato, Leibniz dan Wolf, juga tokoh empirisme David Hume. Tulisan-tulisan Kant pada masa ini cenderung mengarah pada metafisika rasional (Delfgaauw, 1992).

Setelah Immanuel Kant memasuki masa kritis, ia mengubah pemikirannya lebih radikal. Ia menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan  mempertentangkannya dengan dogmatisme (Guyer, 1995). Filsafat Kant disebut kritisisme karena ia tidak membenarkan penggunaan kemampuan rasio semata-mata dalam memahami realitas pada dirinya. Menurut Kant rasio memiliki keterbatasan yang hanya sampai pada dunia penginderaan (fenomena).

Kritisisme dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha didamaikan Kant.

Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa ketiganya bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Namun demikian ada perbedaan antara ketiganya.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental  René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental.

Menurut Kant rasionalisme mengutamakan unsur-unsur apriori dalam pengenalan yakni unsur-unsur yang yang terlepas dari semua pengalaman seperti ide-ide bawaan Descrates.

Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir. Pernyataan ilmiah harus berdasarkan  pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimen yang harus dapat diulang dan menghasilkan secara konsisten untuk mengembangkan teori yang bertujuan menjelaskan fenomena alam.

Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori yakni unsur-unsur yang berasal dari pengalaman seperti Locke yang menganggap rasio as a white paper. Empirisme lahir di Inggris. Tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.

Kant mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi dingin.

Kant beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman inderawi. Padahal data inderawi harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori ‘apriori’ rasio, setelah itu baru bisa dinyatakan sah.

Kant juga mengkritik kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dengan  pernyataan mereka tentang seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan.Baik rasionalisme maupun empirisme, kata Kant, keduanya berat sebelah. Kant beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme sama-sama benar separuh, tetapi juga sama-sama salah separuh. Jadi, baik ‘indera’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia (Gaarder, 1999).

Posisi empirisme dan rasionalisme yang menurut Immanuel Kant berat sebelah kemudian berusaha diseimbangkan dengan menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan gabungan antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur a posteriori (Scruton, 1997). Kritisisme Kant menggabungkan dunia ide Plato ‘apriori’ dengan pengalaman yang bersifat ‘aposteriori’. Apriori artinya sebelum dibuktikan, kita sudah percaya misalnya Tuhan. Meski mengkritik sekaligus menggabungkan rasionalisme dan empirisme, beberapa ilmuwan melihat Kant lebih rasional. Hal itu terlihat pada tiga postulat dalam kritik atas rasio praktis.

C.Metafisika

Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.

Tokoh filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya (Kant, 1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas sesungguhnya.

Pemikiran Hume dan Kant meminjam istilah posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin mempertanyakan kembali wacana wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan metafisis tentang Tuhan, esensi, substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena bersifat apriori.

Berbeda dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan  Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat diseberangi.

Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).

Bagi Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.

Langkah awal Kant dalam merekonstruksi metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik seperti dimuat dalam Critique of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua tubuh(Adian, 2000).

Menurut Kant,  dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.  Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.  

 

D.Etika  (Filsafat Moral)

Etika diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif.

Pemikiran berhubungan dengan moralitas sebelum Kant dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas), hasrat mencapai kebahagiaan (filsafat pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon (Epikuros), perasaan moral (David Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas Aquinas).

Filsafat moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas adi inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan universal melalui subyek itu sendiri.

Karya Kant tentang filsafat moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Dua buku pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral menguraikan norma dan keutamaan moral.

Kant mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas.

Pengukuran moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999). Teori moralitas Kant disebut Imperatif Kategoris.

Imperatif kategoris

Merupakan teori yang diciptakan Kant dengan penekanan kepada otonomi individu dalam mengambil keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan untuk menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak.

Suatu prinsip bisa dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati pengujian yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa prinsip atau maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal sehingga semua orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai  dapat digunakan sebagai hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada alternatif lain. Imperatif kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme psikologis.

Egoisme Psikologis

Teori egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu ditujukan untuk orang lain, sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan dirinya sendiri.

Kritik terhadap egoisme psikologis. Pertama, orang bertindak sesuai dengan apa yang paling diinginkan tidak lagi merupakan hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau salah. Kedua, kritik logis. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling diinginkan tidak  selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan tindakan moral.

 

E.Pengaruh Pemikiran Kant Pada Filsafat  dan Modernisme

Pemikiran Kant mempengaruhi filsuf setelahnya, salah satunya melahirkan kantianisme. Kantianisme adalah etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban, maka pemeliharaan sebagai etika kewajiban. Paham kantianisme adalah paham yang menyatakan keadaan tidak peduli terhadap keputusan yang diambil.

Neo Kantianisme adalah aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada tahun 1860 an atau abad ke 19 (Filsafat Modern). Neo kantianisme bisa diartikan kembali kepada Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan dialektis. Slogan “kembali kepada Kant” ini dicetuskan oleh Otto Liebmann pada tahun 1965.

Pemikiran Kant melahirkan tradisi baru berupa kritik terhadap sumber ilmu pengetahuan. Ia juga telah mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme melalui filsafat kritisisme dengan memberi peran kepada unsur empiris (aposteriori) dengan unsur rasio (apriori).

Kritisisme Kant merupakan sintesis antara dua tendensi (kecenderungan) modern yakni: Rasionalisme (di satu sisi) ke tingkat ekstrim dalam idealisme Hegel dan Empirisme (di sisi lain) ke tingkat ekstrim dalam positivisme August Comte

Konsep “obyektivitas” yang dibentuk atau dipengaruhi oleh pengalaman subyektif mengalami puncak pada “konstruktivisme postmodernisme”  yakni segala klaim tentang realitas adalah hasil kostruksi pemikiran manusia sendiri. Misalnya: hermeunetika, strukturalisme.

Post metafisika Kant dibahas dalam Filsafat Kontemporer (setelah abad 19) seperti: fenomenologi, linguistik analilitis, positivisme logis dan liguistik, dan strukturalisme. Filsafat Kontemporer yang post-metafisik adalah eksistensialisme yang diterapkan dalam dunia manusia tanpa unsur metafisik, strukturalisme, marxisme, dan pragmatisme.

Penentuan rasional ilmiah (fenomena) dan tidak rasional ilmiah (noumena). Sejak abad ke-20, hal ini ditentang oleh Post-modernisme yang mengaburkan konsep “rasionalitas.” Konsep Kant bahwa yang bisa diketahui hanya fenomena, pada akhirnya nanti menjadi lebih radikal dalam post-modernisme nihilistik.

Hingga zaman sekarang pengaruh Kant sangat besar hingga mempengaruhi filsuf postmodernis seperti Lyotard (Bartens, 2001). Franz Magnis Suseno (1992) menyebut Kant sebagai filsuf paling besar pengaruhnya salama kurun waktu 500 tahun terakhir.

Tokoh-tokoh yang menganut paham ini di antaranya adalah Otto Liebmann, Kuno Fischer, Hermann von Helmholtz, Friedrich Albert Lange, Eduard Zeller, African Spir, Hermann Cohen, Alois Riehl. Aliran neokantianisme dalam perkembangannya melahirkan beberapa mazhab, seperti Mazhab Marburg yang didirikan oleh Cohen, Mazhab Goettingen yang didirikan oleh Jacob Fridrich Fries, dan Mazhab Heidelberg yang dirintis oleh Wilhelm Windelband dan memilki jurnal bernama Logos.

Buah pikiran Immanuel Kant dalam tataran kritik atas rasio praktis yang menjadi kaidah bagi kehidupan manusia modern seperti 1)Maksim-maksim (kaidah-kaidah pribadi) yang berbeda pada setiap orang mulai dari aturan yang permanen dan bersifat pribadi sampai dengan aturan yang bisa berubah-ubah; 2)Undang-undang (kaidah umum) yakni aturan yang resmi/formal dan bersifat eksternal (datang dari luar diri kita); 3)Imperatif hipotetis (seandainya, harus).4) Imperatif kategoris (aturan mutlak). Aturan ini mencakup totalitas hidup yang mendasar. Contoh: Harus menepati janji, jangan berbohong.

Pemikiran Kant yang lain yang berpengaruh yakni tujuan moral adalah “kebahagiaan” (eudaimonisme). Kehidupan moral bisa dipahami dan ada artinya (make-sense), jika memegang tiga hal sebagai postulatnya: a) Ada kebebasan untuk memilih ataupun tidak memilih. b)Ada jiwa: unsur psikis sejauh wilayah psikologis. C) Ada Tuhan yang bisa mengganjar kehidupan moral orang-orang baik di dunia dan akhirat.

Rasionalisme dalam kehidupan modern adalah pengaruh pemikiran Immanuel Kant. Rasional pada tingkat teoretis harus mempunyai dasar yang jelas (fundationalistik). Rasional pada tingkat praktis harus bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan nalar. Agama berdasarkan rasional tidak mungkin. Agama bernilai karena memberi dasar moral.

 

F.Pengaruh Pemikiran Kant Pada Psikologi

Dalam ranah Psikologi Kepribadian pemikiran Kant masuk dalam teori yang disusun berdasar pemikiran spekulatif berdasarkan  metodologi yang digunakan menyusun suatu teori. Pemikiran Immanuel Kant masuk dalam teori temperamen ketika menggolongkan atas dasar komponen kepribadian yang dipakai sebagai titik tolak dalam penyusunan perumusan teoritis, dan teori yang mempunyai cara pendekatan tipologis.

Teori Immanuel Kant tentang kepribadian manusia sebagian terdapat dalam Critique der praktischen vernunft (1788) dan Anthropologie (1799). Watak (character) dalam arti normatif terdapat dalam Critique der praktischen vernunft. Watak sebagai kualitas pembeda satu orang dengan yang lain secara khas terdapat dalam Anthropologie.

Kant juga menyinggung temperamen yang dianggapnya sebagai corak kepekaan atau sinneart, sedangkan watak sebagai corak pikiran atau denkungsart. Temperamen menurut Kant mengandung dua aspek yaitu: 1) Aspek fisiologis yaitu konstitusi tubuh, kompleks atau susunan cairan-cairan jasmaniah; 2) Aspek psikologis yaitu kecenderungan-kecenderungan kejiwaan yang disebabkan oleh komposisi darah.

Aspek psikologis mencakup dua tipe temperamen yakni 1) temperamen perasaan yang mencakup sanguinis dan lawannya serta melankolis; 2) temperamen kegiatan meliputi choleris dan lawannya serta phlegmatis.

 

Ikhtisar pendapat Kant

                                                                                                  Character dalam arti etis/normatif

 

Character

(Denkungsart)            Character dalam arti deskriptif                                                Sanguinis

Manusia

                                                                     Aspek fisiologis                  Temp perasaan                

                               

                                Temperament                                                                                                      (Sinheart)                                                                                                                                                                              Melancholis

                                                                      Aspek psikologis                                                            Choleris

                                                                                                                  

    Temp kegiatan

  Phlegmatis

Psikolog yang terpengaruh dengan pemikiran Kant antara lain Carl Gustav Jung (1875-1961).Ia seorang psikiater dan perintis psikologi analitik. Pengaruh  Immanuel Kant tampak pada Filsafat Timur vs Barat dan prinsip harmoni keseimbangan. Jung semula murid Sigmund Freud, namun kemudian berubah haluan. Menurut Jung kepribadian merupakan kombinasi mencakup perasaan dan tingkah laku, baik sadar maupun tidak sadar.  Ia menekankan pemahaman “psyche” melalui eksplorasi mimpi, seni, mitologi, agama serta filsafat.

Psikolog lain yang terpengaruh pemikiran Immanuel Kant adalah Piaget, tokoh psikologi perkembangan dari Swiss yang menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva. Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh Immanuel Kant.  Teori perkembangan Piaget dibagi menjadi empat tahap yang lebih kurang sama yaitu (1) masa infancy, (2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-masing tahap ini dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran anak.

Salah seorang neokantianis terkenal, Enselhans, menerbitkan sebuah karya dalam disiplin ilmu psikologi kepribadian berjudul Character building (1908). Jika Kant membagi temperamen aspek psikologis menjadi dua yakni perasaan dan kegiatan, Enselhans membatasi temperamen pada perasaan saja.  Sebab dia berpendapat memang hanya itulah yang ada; apa yang disebut Kant sebagai temperamen kegiatan menurutnya adalah konstitusi afektif yang menentukan kegiatan dalam hubungan dengan kehidupan kemauan.Kepribadian (character) seseorang terlihat dari tindakan yang merupakan tindakan kemauan,kemauan adalah wujud temperamen.

Temperamen                   Kemauan                       Tindakan

 

IV.Kesimpulan

Immanuel Kant, seorang mekanis dan abstrak yang  humanis termasuk salah seorang filsuf besar pada abad ke 18 memberi pencerahan dengan filsafat kritisisme yang mendobrak dogmatism, mendamaikan pertentangan dua aliran rasionalisme dan empirisme, menghidupkan metafisika yang berbeda dengan metafisika tradisional.

Melalui Revolusi Kopernikan Kant menjadikan manusia sebagai titik sentral dengan menyelidiki struktur-struktur subyek yang memungkinkan benda-benda diketahui sebagai obyek tidak sebaliknya seperti yang biasa dilakukan filsuf sebelumnya yang mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri kepada obyek (Dister, 1992).

Inovasi pemikiran Kant dengan tiga fokus utamanya pada bidang epistemologi, metafisika, dan etika (filsafat moral) masih berpengaruh hingga sekarang baik dalam tataran ilmu khususnya Filsafat dan Psikologi maupun wilayah praktis. Wajar jika ia disebut sebagai filsuf paling berpengaruh 500 tahun terakhir oleh Frans Magniz Suseno.

 

 

 

 

 

Referensi

Adelbert Snijder. Seluas Segala Kenyataan

Suparto. Epistemologi Immanuel Kant: Sebuah Tantangan Fajar Budi, Skripsi Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jakarta, Universitas Indonesia, 2003.

Windo Wibowo. Kritisisme Kant: Sintesis Antara Rasionalisme dan Empirisme. Jakarta, Universitas Indonesia

Sumardi Suryabrata. Psikologi Kepribadian. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011

Hawasi. Immanuel Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta, Poliyama Widyapustaka, 2003.

Hawasi. David Hume:Kita Mempunyai Perasaan Moral. Jakarta, Poliyana Widyapustaka, 2003.

Paul Strathern. 90 Menit Bersama Kant. Jakarta, Erlangga, 2001.

Reza A A Wattimena. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta, Grasindo, 2008

Manfred Kuehn (2001). Kant: A Biography. Cambridge University Press

http://fajar-berbagi.blogspot.com/2011/11/jejak-sophist-di-era-modern-dan-post.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/tugas-1-etika-profesi-2/

http://psychologyworld.wordpress.com/

http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/04/seri-filsafat-immanuel-kant

http://ang-gun.blogspot.com/2009

http://www.scribd.com/doc/57041262/Immanuel-KantTembolok

http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2109377-tokoh-filsafat-immanuel-kant-1724/

Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 697-700

Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 524-525.