Janji


“Sudah rapi, yah,” kataku mengelus patok kayu bertuliskan nama ayahku. Sore itu aku membersihkan rumput liar di atas makam ayah.

Aku kemudian membetulkan posisi duduk jongkokku. Untaian doa tak henti aku panjatkan untuk sosok yang aku teladani, hormati. Ayah.

“Anakmu sudah lulus SMA, yah. Udah gede kan? Maafkan aku yang setelah ayah berpulang, tak bisa membela ibu, yah.” kataku berusaha menahan airmata.

Lintasan kejadian pahit saat aku kecil langsung terlihat seperti slide. Aku hanyalah anak perempuan kecil yang tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa ketika ibunya diserang keluarga karena masalah harta.

Aku kecil hanya mampu berdiri di depan ibu, melindungi ibu dari serangan keluarga almarhum ayah. Kata-kata tajam menyudutkan, tudingan-tudingan kejam berhamburan, menusuk jiwa anak manusia. Aku memeluk ibu, memberi kekuatan.

Dalam batinku aku ingin teriak. Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai anak lelaki. Biar aku bisa melindungi ibuku seperti ayah dulu.

Usai keluarga almarhum ayah pergi, aku dan ibu menangis sesenggukan di teras belakang.

Aku menyeka air bening di sudut mata. “Ayah, anakmu berjanji akan kuliah. Biar bisa membahagiakan ibu nanti. Biar ibu bangga. Aku ingin melihat ibu bahagia. Ayah tenang di sana ya. Doaku tak pernah putus untuk ayah. Kelak, jika aku kerja, aku akan niatkan sedekah, infaq untuk ayah. Akan aku umroh, hajikan ayah. Yang tak sempat ayah tunaikan karena keburu berpulang. Jika aku nanti sukses, aku tak akan dendam dan membalas keluarga yang telah menyakiti ibu. Aku akan tetap berbuat baik. Seperti yang ayah teladankan.”

Aku beringsut dari duduk. Mataku menatap kubur ayah. Kuelus lagi patok kayu kuburan ayah. “Lapangkan kubur ayah, terangi kubur ayah, ampuni dosa-dosanya, ya Rabb.” (bersambung)