Babat Perda Nakal


Ibarat tanaman liar, kalau dibiarkan akan merusak kembang dan tanaman. Maka, ia harus dibabat, tak cuma batang dan daun tapi sampai ke akar-akarnya. Nah, bagaimana kalau ada peraturan daerah (perda) disinyalir menjadi benalu bagi tumbuh kembang koperasi dan UKM (KUKM)? Jawabannya sama, dibabat saja.
Perda seperti apa yang dianggap benalu? Tentunya peraturan yang berpotensi menggerogoti keuangan koperasi, mengurangi hak kesejahteraan anggota, menghambat perkembangan dan menjadikan koperasi tetap bonsai, tidak tumbuh daun dan cabangnya.
“Dua hal yang selama ini dinilai mengganjal pertumbuhan koperasi yakni pungutan retribusi dan pendirian badan hukum koperasi. Perda tidak seharusnya melakukan pungutan terhadap izin mendirikan koperasi dan pengesahan koperasi, hanya sekali dari Kementerian,” kata Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) Untung Tri Basuki.
Namun dari dua hal tersebut, kata Untung, yang jelas menghambat dan paling krusial adalah perda retribusi terhadap KUKM. “Hal ini bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM,” kata Untung. Sedangkan pungutan terhadap pendirian badan hukum koperasi, bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi. “Misalnya, wajib daftar ulang badan hukum koperasi yang diberlakukan 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun,” jelas Untung.
Guna mencabut Perda yang dituding sebagai duri bagi kemajuan koperasi, Kemenkop UKM sejak tahun 2000 mulai menghimpun data perda nakal yang muncul bak jamur di musim hujan. Jumlahnya menyebar seiring dengan implementasi otonomi daerah di tanah air.
Perda nakal yang berhubungan dengan retribusi jumlahnya lebih besar ketimbang pendirian badan hukum koperasi. Seperti retribusi pengesahan, perubahan anggaran dasar koperasi, retribusi izin pembukaan kantor cabang koperasi, retribusi pendaftaran ulang anggaran dasar koperasi, retribusi izin usaha, dan retribusi izin permohonan kredit.
Sejauh ini Kemenkop UKM berperan mengevaluasi dan memberikan rekomendasi. Sedangkan instansi yang berwenang mencabut nyawa Perda nakal, yakni Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Departemen Keuangan (Kemenkeu). Mekanismenya, Kemenkop mengusulkan pencabutan perda bermasalah ke Kemenkeu, dilanjutkan rekomendasi Kemenkeu kepada Depdagri. Mengapa melalui dua instansi tersebut? Karena sebagian besar perda benalu itu berhubungan dengan retribusi.
Namun, prosedur bisa lebih simple jika perda error itu menyangkut pembatasan masa berlaku SITU (Surat Izin Tempat Usaha), pembatasan masa berlaku SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), pendaftaran ulang anggaran dasar koperasi, dan pengaturan pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) koperasi. Kemenkop cukup mengusulkan pembatalan ke Depdagri. Melihat peran strategis dua lembaga itu, wajar jika Kemenkop UKM bertekad menjalin kerjasama dengan dua instansi tersebut.
400 Perda Bermasalah
Sepanjang 2000-2009, Kemenkop UKM telah mengantongi 400 perda pengganjal perkembangan koperasi dan UKM. Menariknya, jumlah perda error terbesar terjadi pada tahun lalu, yakni sebesar 160 perda. “Evaluasi terhadap 160 perda bermasalah yang kita lakukan pada 2009 adalah jumlah terbesar yang berhasil kami himpun,” ujar Untung.
Dari 400 perda yang dievaluasi, Kemenkop sudah mengusulkan pembatalan terhadap 211 perda. Sebanyak 79 perda diantaranya sedang dibahas di Depdagri dan Kemenkeu. Sedangkan perda yang telah dibatalkan sebanyak 63 perda. Selanjutnya, perda yang telah disetujui untuk dicabut itu akan diteruskan ke daerah masing-masing untuk disosialisasikan. “Kami akan melakukan sosialisasi perda yang telah dicabut,” kata Rudi Faisal, Asisten Deputi Kelembagaan Kemenkop UKM.
Aksi selanjutnya, dalam program kerja 100 hari, Kemenkop UKM sudah mengevaluasi 60 perda dan mengusulkan 23 perda untuk dicabut. Perda yang diusulkan dicabut itu hampir seluruhnya tidak sinkron dengan peraturan perundangan di atasnya.
Itu dalam seratus hari pertama program Kemenkop UKM terpilih. Sedangkan untuk mengisi lembaran tahun ini, Kemenkop menargetkan melakukan evaluasi terhadap 160 perda bermasalah. “Kami menargetkan tahun ini ada 100 perda penghambat koperasi yang diusulkan untuk dibatalkan, bahkan diupayakan lagi ada tambahan 60 perda yang akan dicabut. Jadi, ada 160 perda yang akan dievaluasi tahun ini,” kata Untung.
Evaluasi perda-perda tersebut, kata Untung, sudah berjalan sejak awal tahun ini. Perda yang telah dievaluasi sebanyak 120. Sehingga, tersisa 40 perda lagi yang akan diselesaikan.
Nah, langkah apa yang dilakukan pemerintah setelah perda dicabut? Pasca adanya Kepmendagri tentang pembatalan, akan terbit peraturan presiden (perpres). “Selanjutnya perpres akan disampaikan kepada kepala daerah untuk menghentikan perda tersebut,” ujar Untung. Menurut dia, proses penerbitan perpres akan selesai dalam waktu 60 hari kerja, sedangkan kepala daerah harus menghentikan perdanya dalam masa 7 hari kerja.
Beberapa Daerah
Perda bermasalah gentayangan di beberapa daerah. Di Makassar Sulawesi Selatan misalnya, Perda No. 7/2003 tentang Pungutan Status Badan Hukum dan Retribusi dan Perda No. 24/2001 tentang Retribusi Pelayanan dan Perizinan Koperasi. Perda ini telah dicabut.
Tak jauh dari Makassar, di Kabupaten Donggala juga terdapat perda aneh. Yaitu Perda No 42/2001 tentang Retribusi Tanda Daftar Gedung yang dibatalkan dengan Kepmendagri No 24/ 2009. Bergerak ke arah timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Manokwari akan dijumpai Perda No 6/2002 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minum Beralkohol yang batal dengan keluarnya Kepmendagri No 17/ 2009.
Menjejak ke pulau Jawa bagian Timur, ada Peraturan Daerah Kabupaten Ponorogo Nomor 8/2005 tentang Retribusi Bidang Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi. Perda ini kemudian dibatalkan dengan Kepmendagri Nomor 61/2008.
Meski aksi pembatalan perda bermasalah telah berjalan lama, namun sebagian insan koperasi mengaku tidak tahu adanya pencabutan perda bermasalah. Mereka juga merasa di daerahnya tidak ada perda yang memberatkan langkah koperasinya.
“Sepengetahuan saya, tidak ada retribusi yang dikenakan ke koperasi mbak, dari dulu hingga sekarang. Juga Pprda yang menghambat koperasi, khususnya di daerah saya,” kata Muchammad Sjahid, Ketua PKP-RI Kabupaten Wonosobo. Padahal, salah satu perda yang masuk dalam list perda bermasalah adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.12 Tahun 2004 tentang Retribusi Pelayanan Jasa Ketatausahaan. Namun buru-buru Sjahid menambahkan,”Mungkin retribusi itu cuma dalam pembahasan saja, tapi tidak sampai pelaksanaan.”
Pendapat Sjahid diamini Ketua GKP-RI Jawa Tengah Bambang Suhardiyo. “Nggak pernah ada retribusi ke koperasi, baik ke GKP-RI Jawa Tengah maupun ke PKP-RI Kabupaten Kendal,” kata dia. Meski tidak merasakan dampak penerapan perda bermasalah, Bambang menyambut baik langkah pemerintah mencabut perda bermasalah. “Malah bagus kalau ada langkah itu,” ujarnya.
Tidak adanya perda pengganjal koperasi di daerahnya juga diungkapkan Linda Yuliawati, Manajer Koperasi Kredit Binekas di Sukabumi, Jawa Barat. “Sementara ini tidak ada peraturan daerah yang merugikan atau memberatkan koperasi,” kata dia.
Terkait pembatalan puluhan perda, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Maz Panjaitan mengatakan belum tahu adanya pembatalan perda terkait pajak dan retribusi daerah oleh Depdagri. Menurutnya, perda yang dikeluarkan Dinas Koperasi dan UKM DKI Jaya tidak mengatur retribusi koperasi. “Yang diberlakukan hanya bagi usaha mikro dan kecil, itu pun tidak membebani,” kata Panjaitan.

sumber: Bisnis Indonesia, Sentana