Goal Orientation


By Susan Sutardjo

I.Pendahuluan

Teori goal orientation (goal orientation theory) merupakan teori kognitif sosial yang berhubungan dengan motivasi berprestasi. Teori ini muncul pada awal abad ke-20 dan berkembang menjadi bagian penting dalam kerangka kerja teoritis di bidang motivasi akademik setelah pertengahan tahun 1980-an. Sehingga pembahasan teori orientasi goal selalu dikaitkan dengan teori motivasi.

Selain teori goal orientation ada teori motivasi lain yakni teori atribusi. Kedua teori ini mempunyai fokus berbeda. Teori atribusi membahas tentang kepercayaan (belief) siswa akan kesuksesan dan kegagalan. Teori goal orientation menguji alasan-alasan mengapa siswa terlibat dalam aktivitas akademik. Teori goal orientation lebih berpengarih pada bidang pendidikan. Namun demikian, teori ini digunakan pada ranah psikologi olahraga, psikologi kesehatan, dan psikologi sosial.

 

II.Pengertian

Carol Dweck (1986) mendefinisikan goal orientation sebagai pereferensi tujuan dalam berprestasi. Menurut kamus Oxford goal orientation diartikan sebagai bangunan motivasi yang mengacu pada definisi sukses. Konteks sukses dihubungkan sebagai pemenang atau mengalahkan orang lain, mempunyai ego goal orientation, perbaikan individu dan menguasai tugas.

 

III.Jenis-Jenis Goal Orientation

Pintrich (2000) membedakan goal orientation menjadi dua yaitu mastery goal (mastery-oriented) dan performance goal (performance-oriented). Mastery goal merupakan tujuan dalam pengertian yang sebenarnya atau menguasai tugas. Siswa yang berorientasi menguasai tugas akan tertarik pada perbaikan diri dan cenderung membandingkan tingkat pencapaian diri pada saat ini dengan sebelumnya.

Performance goal (performance-oriented) adalah goal untuk menunjukkan kemampuan diri melalui komparasi dengan orang lain. Siswa dengan performance-oriented tertarik dalam kompetisi, menunjukkan kompetensinya dan pencapaianya kepada siswa lain. Mereka juga cenderung menggunakan siswa lain sebagai pembanding daripada diri mereka sendiri.

Carol Dweck (1986) membagi goal orientation menjadi dua: learning goal orientation dan performance goal orientation.  Learning goal orientation adalah preferensi dalam membangun kompetensi melalui pengembangan kemampuan (ability) dan penguasaan (mastery) dalam menghadapi situasi tertentu. Learning goal orientation ini sama dengan mastery goal.

Performance goal orientation merupakan preferensi dalam menunjukkan kompetensi dengan mencari penilaian positif dan menghindari penilaian negatif. Sehingga performance goal orientation  meliputi dua hal yaitu keinginan mendapat penilaian baik dan menghindari penilaian buruk.

Don Valle Walle (2001) membagi goal orientation menjadi tiga: learning goal orientation, proving goal orientation, dan avoiding goal orientation. Learning goal orientation adalah keinginan mengembangkan diri dengan mempelajari skill baru, menguasai situasi baru, dan memperbaiki kompetensi diri.  Proving goal orientation adalah keinginan menunjukkan kompetensi dan menghindari penilaian negatif dari orang lain. Avoiding goal orientation adalah keinginan individu menghindari situasi yang bisa menyangkal kompetensinya dan menghindari penilaian negatif dari orang lain.

Terminologi lain mengenai mastery goal dan performance goal dikaitkan dengan approach (pendekatan) dan avoidance (penghindaran). Approach dalam mastery goal dikaitkan dengan pembelajaran yaitu tertarik menguasai tugas-tugas akademik dalam arti sesungguhnya. Contohnya tujuan Jennifer dalam kelas Bahasa Perancis. Ia ingin lancar berbahasa Perancis karena tertarik bahasa, ingin bercakap-cakap dan membaca literature dalam Bahasa Perancis.

Sedangkan avoid dalam mastery goal adalah menghindari tidak memahami tugas. Misalnya tujuan Jason dalam kelas Bahasa Perancis adalah menghindari tidak memahami pelajaran tata bahasa yang diajarkan gurunya.

Approach dalam performance goal adalah goal yang tertarik menunjukkan kemampuan kepada orang lain bahwa mereka lebih kompeten dibandingkan dengan yang lain. Contohnya tujuan Haley dalam kelas Bahasa Perancis adalah menunjukkan kepada guru dan temannya kalau ia berbicara Bahasa Perancis lebih baik dibandingkan dengan teman sekelasnya.

Avoid dalam performance goal adalah tertarik menghindari terlihat tidak kompeten atau bodoh. Contohnya tujuan TJ dalam kelas Bahasa Perancis adalah menghindari terlihat tidak kompeten berbicara atau membaca Bahasa Perancis.

Dalam konteks pembelajaran di kelas, goal siswa dikonsepkan dengan goal pribadi baik mastery goal dan performance goal orientation. Sedangkan struktur classroom goal (classroom goal structure) mengacu pada kepercayaan (belief) siswa pada goal yang dikaitkan dengan guru di ruang kelas. Struktur classroom goal (classroom goal structure) dibedakan menjadi struktur classroom mastery goal dan struktur classroom performance goal.

Siswa yang menggunakan mastery goal di ruang kelas percaya bahwa instruksi pengajaran di kelas menekankan pada perbaikan, belajar  menguasai (mastery) materi baru, dan membandingkan penguasaan materi pelajaran pada diri sendiri. Sedangkan siswa yang mempunyai performance goal di kelas akan menggunakan goal untuk berkompetisi, meningkatkan ranking, dan membandingkan kemampuan dan pencapaian diri dibandingkan dengan siswa lain.

Mastery goal dinilai sebagian besar kalangan lebih baik dibandingkan dengan performance goal. Apakah performance goal buruk? Perdebatan mengenai performance approach goal dalam literatur Psikologi Pendidikan difokuskan pada revisi teori goal orientation pada penghujung 1990-an. Beberapa peneliti berargumen bahwa performance approach goal adaptif dan menguntungkan siswa jika dipasangkan dengan mastery goal (Harackiewicz, Barron, Pintrich, Elliot, &Trash, 2002).

Studi lebih lanjut tentang performance goal adaptif bagi siswa sangat diperlukan. Dalam konteks pembelajaran, hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan jangka pendek dan jangka panjang sebuah pembelajaran, latar belakang sekolah dan lingkungan sosial, serta karakteristik individu siswa.

Hal di atas tidak terlepas dari penelitian beberapa peneliti yang menemukan sedikit manfaat performance approach goal (Midgley, Kaplan, &Middleton, 2001). Perdebatan ini mempunyai implikasi penting dalam desain lingkungan pendidikan dan perbaikan sekolah. Roeser (2004) menyatakan perdebatan dipicu oleh fakta beberapa teori goal concern dengan masalah perbaikan lingkungan sekolah (Midgley, et al).

Teori lain memperhatikan perkembangan model teoritis dalam menjelaskan dan meningkatkan motivasi siswa (Harackiewicz et al). Selain memperdebatkan performance goal, sebagian besar teori goal membahas manfaat mastery goal bagi hasil belajar.

.

IV. Metode Riset dan Pengukuran dalam Mengetes Goal

Instrumen survey yang digunakan dalam menguji orientasi goal (goal orientation) adalah self-report (pelaporan diri). Siswa melengkapi data survey untuk menilai tujuan personal siswa dan persepsi mereka tentang kelas dan struktur school goal. Beberapa periset mengumpulkan data penelitian untuk mendapatkan gambaran goal orientation atau orientasi goal siswa.

Terdapat banyak alat ukur dalam mengetes orientasi goal. Salah satu yang paling umum digunakan adalah Pattern of Adaptive Learning Survey (PALS; Midgley et al, 1998). PALS berisi pengukuran goal personal siswa tentang persepsi struktur classroom goal. Alat ukur ini mengukur rentang usia kelompok meliputi anak-anak, remaja, dan mahasiswa.

Pengukuran lain dalam goal orientation adalah AGQ yang diciptakan Elliot et al (Conroy, Elliot, & Hofer, 2003) dan alat ukur yang dikembangkan oleh Dweck (Dweck, 1999). Alat ukur ini bisa digunakan untuk mengukur orientasi goal siswa.

Sebagian besar survey mengukur goal berprestasi, menguji alasan siswa terlibat dalam tugas-tugas akademik. Namun, Nichols mengkonsep ukuran goal orientation dalam pengertian bagaimana siswa merasakan pembelajaran di kelas (Nicholls, 1989).

Beberapa peneliti menggunakan metodologi tertentu untuk menguji goal. Misalnya Patrick, L. Anderman et al mengembangkan instrumen observasi yang dapat digunakan oleh observer untuk menilai struktur goal dalam ruangan kelas (Patrick, Anderman, Ryan, Edelin, &Midgle, 2001). Turner, Meyer, et al menguji diskursus pendidik siswa untuk menguji bagaimana guru mengkomunikasikan tujuan kepada siswa (Turner et al, 2002).

 

V. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi  Orientasi Goal

Peneliti motivasi yang mempelajari goal orientation menyatakan karakteristik individu dan kontekstual mempengaruhi jenis-jenis goal yang digunakan siswa dalam lingkungan pembelajaran yang beragam. Penelitian menunjukkan lingkungan tempat siswa belajar mempengaruhi orientasi goal siswa.

Perbedaan individu yang mempengaruhi orientasi goal ditekankan pada perbedaan gender. Meskipun studi lain menyatakan perbedaan gender tidak memiliki pengaruh dalam memilih goal orientation. Dari berbagai penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung memiliki performance orientation ketimbang perempuan.

Faktor lain yang mempengaruhi goal orientation adalah perbedaan suku. Midgley dan Middleton (1997) menggunakan sample orang Eropa Amerika dan Afrika Amerika untuk membandingkan orientasi goal di antara kedua suku. Dalam performance goal atau avoid goal tidak ditemukan perbedaan antar keduanya. Namun, pada mastery goal ditemukan bahwa remaja Afrika Amerika lebih tinggi ketimbang Eropa Amerika. Pelajar Afrika Amerika juga lebih banyak menggunakan mastery oriented dan extrinsic oriented  (Freeamn, Gutman, &Midgley, 2002).

Dalam studi yang dilakukan Edelin (1998) ditemukan bahwa siswa yang diajak berdiskusi tentang orientasi goal berprestasi sebagian besar mengatakan memiliki extrinsic goal. Mereka kadang-kadang menyebut mastery goal dan jarang menyebut performance goal.

Selain perbedaan gender dan suku, kepercayaan siswa tentang intelegensi juga mempengaruhi goal orientation. Dweck, et all (1999) menemukan indikasi bahwa siswa yang memiliki kepercayaan intelegensi dapat diubah cenderung menggunakan mastery goal. Sebaliknya siswa yang percaya intelegensi tetap akan menerapkan performance goal.

Goal orientation menurut sebagian ahli dipengaruhi oleh karakteristik dan sosial yang dikategorikan sebagai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Karakteristik meliputi extraversion, terbuka pada pengalaman, stabilitas emosi, kesadaran diri dan ramah. Faktor sosial terdiri dari sekolah, guru, dan orang tua.

VI.Hubungan Orientasi Goal dengan Hasil Belajar

Goal orientation baik mastery dan performance kerap dihubungkan dengan beragam hasil belajar. Ketika siswa menggunakan orientasi goal, mastery maupun performance dapat diprediksi hasil belajar siswa tersebut bagus.

Riset juga menemukan indikasi siswa yang menggunakan mastery goal membuahkan hasil adaptif (Anderman & Wolters, 2006). Siswa yang menggunakan mastery goal akan tetap mengerjakan tugas-tugas akademik meskipun sulit, membutuhkan waktu lama, mau terlibat dalam tugas, menggunakan strategi proses kognitif yang efektif, kecil kemungkinan memiliki perilaku yang merugikan, dan memilih melanjutkan menyelesaikan tugas meskipun opsional. Misalnya mengambil kursus tambahan setelah selesai mengikuti kursus tertentu.

Ketika goal orientation dihubungkan dengan hasil belajar, sedikit penelitian yang menghubungkan langsung antara mastery goal dengan pencapaian akademik. Banyak riset juga mempelajari mastery-approach goal tetapi tidak menguji mastery avoid goal.

Hubungan antara performance goal dan hasil belajar lebih    kompleks. Sebelum tahun 1990-an, peneliti sering mengukur performance approach dan avoid goal dalam skala sama, sehingga mengacaukan pengukuran. Karena kekacauan ini akhirnya peneliti membedakan approach dan avoid performance goal.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan performance avoid goal tidak berhubungan positif dengan hasil adaptif. Lebih spesifik studi mengindikasikan performance-avoid goal dihubungkan dengan pencapaian akademik rendah, level keterlibatan akademik rendah, perilaku menghindar seperti merugikan diri sendiri (Urdan, Ryan, Anderman, & Gheen, 2002).

Studi tentang hubungan performance approach goal dengan hasil belajar memiliki hasil beragam. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penggunaan performance approach goal dihubungkan dengan ketekunan mengerjakan tugas-tugas akademik. Studi lain menunjukkan performance-approach goal dihubungkan dengan penggunaan kognitif adaptif dan strategi metakognitif. Namun beberapa penelitian tidak menemukan adanya hubungan tersebut.

Beberapa riset malah menunjukkan penggunaan performance approach goal dihubungkan dengan hasil maladaptive seperti menghindari mencari bantuan (Ryan, Hicks, &Midgley, 1997).  Sementara riset lain menemukan hubungan positif antara kelas mata kuliah dengan performance-approach goal pada mahasiswa dan kadang-kadang pada siswa yang lebih muda (Anderman&Wolters, 2006).

Relasi antara struktur goal di ruang kelas (classroom goal structure) dengan hasil belajar membuahkan hasil kurang lebih sama. Persepsi struktur mastery goal biasanya dihubungkan dengan hasil adaptif. Sedangkan persepsi struktur performance goal sering dikaitkan dengan hasil maladaptive. Studi menguji relasi struktur performance goal dengan bidang pencapaian akademik digabung dengan studi tentang struktur performance goal yang dihubungkan negative dengan prestasi (E.M Anderman&Midgley, 1997). Studi lain mengindikasikan struktur mastery goal dalam ruang kelas tidak berhubungan dengan prestasi (Midgley&Urdan, 2001).

 

VII.Implikasi Bagi Pendidik

Selama hampir dua dekade (dari tahun 1985 hingga 2000-an) riset mengenai goal orientation berprestasi menawarkan sejumlah implikasi praktis bagi pendidik. Para pendidik seyogyanya berpikir kritis dalam memahami jenis-jenis goal mana yang tepat bagi siswanya untuk meningkatkan motivasi siswa.

Salah satu hal menarik dari prinsip goal orientation adalah tujuan siswa bisa diubah termasuk goal di kelas. Secara umum goal bisa diubah sesuai konteks sosial berbeda. Tugas pendidik adalah mempengaruhi konteks sosial sekolah dan kelas dengan merubah instruksi pengajaran.

Dalam merubah instruksi pengajaran para pendidik bisa menggunakan teori goal orientation sebagai pedoman kerangka kerja. Maehr, Midgley pada awal 1990-an telah melakukan riset menggunakan teori goal orientation sebagai pedoman dalam memperbaiki instruksi pengajaran. Mereka fokus pada praktek yang bisa meningkatkan goal baik mastery maupun performance.

Maehr dan Midgley kemudian mengeliminasi praktek pengajaran yang fokus pada performance goal dan meningkatkan strategi yang memungkinkan siswa menggunakan mastery goal. Hasilnya goal bisa diubah dan motivasi siswa meningkat (Maehr & Midgley, 1996).

Implikasi dalam goal orientation yang  bisa diterapkan pendidik seperti tersebut di bawah ini.

  • Menggunakan TARGET (task,      authority, recognition, grouping, evaluating, time) yang dikembangkan      oleh Joyce Epstein untuk menguji dan memberikan instruksi praktis sesuai      dengan teori goal orientation.
  • Tugas-tugas (task)      diperiksa dan diubah untuk mendorong siswa fokus pada penguasaan tugas      tanpa memperhatikan performa siswa lain.
  •  Otoritas (authority) mengacu pada bagaimana      mengontrol siswa dalam menyelesaikan tugas. Ini lebih memungkinkan siswa      menggunakan mastery goal dengan      memberikan beberapa pilihan dalam mengerjakan tugas.
  • Pengakuan (recognition), yaitu pendidik mengakui keberadaan siswa      atas penyelesaian tugas mereka sebagai personal, bukan membandingkan      performa mereka dengan yang lain.
  • Pengelompokan (grouping)      memandu pengajar bagaimana mengatur siswa tanpa melihat kemampuan akademik      dalam pengajaran. Jika siswa dikelompokkan berdasarkan pencapaian akademik      akan mendorong siswa mengadopsi performance goal. Siswa akan menggunakan      mastery goal jika pendidik mengelompokkan siswa berdasarkan ketertarikan      mereka.
  • Evaluasi (evaluation)      adalah bagaimana pendidik menilai siswa. Evaluasi guru bisa berdasarkan      penguasaan siswa pada tugas atau seberapa cepat dan akurat siswa      menyelesaikan tugas dibandingkan dengan yang lain.
  • Waktu (time) adalah      bagaimana menyusun waktu dan berapa banyak waktu yang digunakan di kelas.      Beberapa pendidik memberikan waktu cukup untuk menyelesaikan tugas      kompleks. Menyusun waktu berkaitan dengan pembatasan waktu bagi siswa      dalam menyelesaikan tugas.

Implikasi lain dari goal orientation theory yang bisa digunakan bagi pendidik antara lain:

  • Fokus pada aspek kegiatan pembelajaran      bermakna.  Guru memberi penekanan      bagaimana tugas-tugas pelajaran relevan dengan dunia di luar sekolah.
  • Membuat tugas yang mengandung unsur kebaruan,      beragam, berbeda, dan menarik. Guru seharusnya menyediakan beragam tugas      bagi siswa agar mereka terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Tugas-tugas      tersebut diusahakan memiliki unsure kebaruan, menarik atau memiliki      kejutan sehingga siswa akan terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
  • Mendesain tugas yang memberi tantangan siswa      dengan tetap memperhatikan kemampuan mereka..
  • Memberi kesempatan siswa memilih dan mengontrol      kegiatan pembelajaran. Misalnya dalam mengerjakan tugas laporan,  siswa diberi kebebasan memilih sub topik      mata pelajaran tertentu.
  • Fokus pada perbaikan, pembelajaran, kemajuan, dan      penguasaan. Pendidik fokus pada bagaimana siswa menguasai pelajaran dengan      memberikan feedback untuk lembar kerja dan tugas harian siswa. Pendidik      juga bisa melakukan kompilasi tugas-tugas siswa dengan menempatkan tugas      setiap siswa dalam folder untuk melihat perkembangan progress siswa.
  • Membuat evaluasi secara personal, bukan untuk      publik atau menilai seorang siswa di kelas. Pendidik bisa melakukan      evaluasi siswa di ruang kelas atau membuat papan berisi progress siswa.      Tetapi cara ini memberikan dampak negatif bagi siswa yang kurang menguasai      pelajaran. Atau siswa akan terpacu belajar untuk terlihat mampu di kelas      (performance goal). Untuk mendorong siswa menggunakan mastery goal, guru      bisa membuat lembar penilaian progress secara pribadi untuk siswa      bersangkutan.
  • Memberi pengakuan atas usaha siswa. Sebisa      mungkin guru memberikan pengakuan atas tugas yang sudah diselesaikan.      Bukan pada kualitas siswa menyelesaikan tugas. Guru bisa memberikan tanda      pada siswa yang berusaha keras memahami pelajaran.
  • Membantu siswa yang melihat kesalahan sebagai      kesempatan untuk belajar. Guru memberi pengertian kepada siswa bahwa membuat      kesalahan di ruang kelas bukanlah aib tetapi kesempatan untuk belajar dan      memahami pelajaran.
  • Menggunakan kelompok kooperatif secara heterogen      pada interaksi teman sebaya dengan menggunakan tugas individu untuk      mengetahui progress.
  • Sesuaikan waktu dengan tugas siswa. Strategi ini khususnya      diperuntukkan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan      tugas dengan mengijinkan siswa membuat time schedule dalam mengerjakan      tugas. Guru menanyakan kepada siswa yang kesulitan menyelesaikan tugas berapa      waktu yang dibutuhkan dengan memberikan batasan waktu.

Daftar Pustaka

Walle, Don Valle (2001). Goal Orientation: Advances Construct in Conceptualization dan Validation Research. San Diego CA: SIOP National Meeting.

http://www.answers.com/topic/goal-orientation#ixzz1wq35F0tg

http://www.education.com